24 Agustus 2009

BRAHMA-VIHARA

BRAHMA-VIHĀRA

Sifat luhur dalam Buddhisme lebih dikenal dengan istilah brahma-vihāra, yang terdiri dari empat macam sifat luhur dan apabila keempat sifat ini dilatih secara sungguh-sungguh akan membawa manfaat besar bagi pelakunya. Brahma-vihāra dikatakan sebagai sifat luhur karena brahma-vihāra dapat membuat seseorang menjadi luhur atau mulia. Dalam ajaran Buddhisme kata brahma-vihāra sudah tidak asing lagi di telinga setiap umatnya. Karena ajaran Buddha mempunyai ciri khas pengembangan cinta kasih kepada semua makhluk, dan ajaran cinta kasih ini merupakan salah satu dari empat sifat luhur dalam brahma-vihāra.

Pengertian Brahma-vihāra

Ajaran mengenai cinta kasih, belas kasihan, turut berbahagia, dan tentang keseimbangan batin merupakan ciri khas dari Buddhisme. Cinta kasih di sini bukan berarti cinta seperti dalam pengertian umum, bukan cinta yang mempunyai pamrih dan juga bukan cinta kepada hal-hal atau orang-orang tertentu melainkan cinta yang tidak membedakan apa dan siapa pun. Keempat sifat yang terdapat dalam brahma-vihāra ini merupakan sifat yang tidak mementingkan diri sendiri, tetapi lebih menekankan pada kepentingan dan kesejahteraan bersama, sehingga sifat-sifat ini dapat membuat manusia saling menghormati dan saling menghargai satu sama lain.

Kata brahma dapat diartikan sebagai ‘sangat baik’, agung, luhur atau mulia, dan vihāra diartikan sebagai ‘keadaan dari kehidupan’. Oleh karena itu brahma-vihāra berarti keadaan yang luhur atau kediaman luhur (Piyadasi, 2003:247). Brahma-vihāra dapat diterjemahkan sebagai cara bertingkah laku yang luhur atau tempat kediaman dewa brahma. Brahma-vihāra adalah cara atau keadaan kehidupan yang halus atau mulia seperti brahmacariya (kehidupan mulia). Mereka juga disebut appamañña (tanpa batas ikatan), karena bentuk pikiran ini dipancarkan pada semua makhluk tanpa batas dan tanpa rintangan (Narada, 1992:275).

Dikatakan brahma-vihāra karena orang yang memiliki dan mengembangkan sifat-sifat tersebut berarti ia memiliki sifat-sifat yang dimiliki oleh para dewa brahma yang berdiam di alam-alam brahma. Suatu makhluk dapat terlahir di alam-alam brahma apabila ia senantiasa mengembangkan sifat luhur seperti cinta kasih, belas kasihan, turut berbahagia atas kebahagiaan orang lain, dan batin yang selalu seimbang. Untuk itu apabila orang selalu mengembangkan sifat luhur ini, dan sifat tersebut telah menyatu dalam dirinya maka setelah meninggal dunia tidak menutup kemungkinan ia dapat terlahir di salah satu alam para dewa brahma.

Jadi brahma-vihāra adalah keadaan batin yang luhur dan halus yang dikembangkan secara bebas, luas, dan menyeluruh ke segenap penjuru, kepada apa dan siapa saja baik yang terlihat atau yang tidak terlihat, yang bersifat mengasihi atau membenci tanpa adanya keterikatan terhadap obyek, baik obyek yang menyenangkan atau pun obyek yang tidak menyenangkan. Brahma-vihāra adalah keadaan yang tidak terbatas dan meliputi segala sesuatu, yang merupakan sifat-sifat luhur para brahma.

Orang yang telah memiliki dan menyatu dengan brahma-vihāra tersebut akan selalu berusaha berada dalam keadaan batin yang seimbang dalam menghadapi segala permasalahan dalam hidup, ia akan menghadapinya dengan penuh kebijaksanaan. Oleh karena itu seseorang yang mengembangkan brahma-vihāra secara terus-menerus dengan sepenuh hati, orang tersebut dikatakan ”berdiam dalam brahma”. Artinya ia bersifat seperti halnya makhluk brahma yang luhur yang berdiam di alam-alam brahma.

Sifat-sifat Brahma-vihāra

Brahma-vihāra memiliki empat sifat mulia yang saling mendukung dan mempengaruhi satu sama lain. Walaupun ada perbedaan obyek dari keempat sifat-sifat brahma-vihāra tersebut, tetapi dalam mengembangkannya harus seimbang antara keempatnya. Apabila yang satu berkembang maka dengan demikian ketiga sifat yang lainnya pun juga ikut berkembang karena sifat tersebut saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Empat sifat tersebut dikatakan luhur karena merupakan cara bertindak dan bersikap yang benar dan ideal terhadap semua makhluk hidup, sattesu sammā paöipatti. Keempat sifat luhur tersebut adalah mettā (cinta kasih), karunā (kasih sayang, belas kasih), muditā (turut bergembira), dan upekkhā (keseimbangan batin).

1. Cinta Kasih (Mettā)

Mettā (bahasa pali) atau maitri (bahasa sansekerta) berarti sesuatu yang dapat menghaluskan hati seseorang, atau rasa persahabatan sejati. Dalam bahasa Indonesia mettā sering diterjemahkan dengan arti “cinta kasih”. Dalam bahasa Inggris disebut “loving kindness”, kadang-kadang “benevolence”. Disebut demikian karena perasaan ini merupakan suatu perasaan yang hangat bagi makhluk-makhluk. Kehangatan berasal dari matahari yang disebut “mitra” dalam kepustakaan Vedā. Seseorang yang mempunyai hati yang hangat pada kita disebut “mitrā” atau “mittā” (dalam bahasa Indonesia: teman); sifat dari “mitra” atau “mittā” adalah “maitri” atau “mettā”. Sebagaimana matahari menyinari segala sesuatu di dunia ini, “mettā” atau “maitri” memancar kepada semua makhluk tanpa perbedaan (Dharmawidya, 1990:23).

Oleh karena itu seperti halnya matahari yang selalu memberi kehangatan kepada siapa saja tanpa terkecuali, demikian pula mettā. Ia selalu memberikan kehangatan cinta kasih dan kasih sayang kepada siapa pun, baik yang bersifat netral ataupun yang bersifat bermusuhan kepadanya. Itulah kemuliaan mettā, cinta sejati yang benar-benar tulus dan tanpa pamrih sedikit pun, akan memancar ke segenap penjuru dunia menawarkan perdamaian dan ketentraman bagi manusia yang memiliki rasa tanggung jawab terhadap kehidupannya dan orang-orang di sekitarnya.

Mettā dirumuskan sebagai keinginan akan kebahagiaan semua makhluk tanpa terkecuali. Mettā juga sering dikatakan sebagai niat suci yang mengharapkan kesejahteraan dan kebahagiaan makhluk-makhluk lain. Seperti yang terdapat dalam mettā-sutta, yang berbunyi sebagai berikut: “sebagaimana seorang ibu yang mempertaruhkan jiwanya melindungi anak tunggalnya, demikianlah terhadap semua makhluk; kembangkan pikiran cinta kasih tanpa batas” (¥anamoli, 2001:15). Musuh langsung dari mettā adalah kebencian, keinginan jahat atau keengganan, kodha, musuh tidak langsungnya adalah kecintaan pribadi, pema. Pema atau cinta dalam pengertian umum, seperti cinta seorang suami kepada istri, dan istri kepada suami.

Cinta seperti itu tidaklah sama dengan mettā, melainkan berperan sebagai musuh tidak langsung dari mettā. Karena pema memiliki keegoan sebagai dasar mencintai seseorang. Mettā menjangkau semua makhluk tanpa kecuali. Puncak mettā adalah persamaan diri sendiri dengan semua makhluk. Ia merupakan pengharapan terhadap kebaikan dan kebahagiaan semua pihak. Sikap bajik merupakan ciri utamanya, mettā menghapus semua kehendak jahat.

Pengembangan cinta kasih ini dapat dilakukan dengan cara mengharap kebahagiaan, dimulai dari diri sendiri, sanak keluarga, kerabat, teman, orang-orang yang bersikap netral atau yang bersikap bermusuhan hingga akhirnya cinta kasih tersebut meliputi semua makhluk tanpa terkecuali, semoga semua makhluk berbahagia dan bebas dari penderitaan. Demikian cinta kasih itu dikembangkan Sehingga pikiran benar-benar terpenuhi dengan cinta kasih kepada semua makhluk tanpa batas.

Cinta kasih memiliki kekuatan yang sangat besar, bahkan dapat mempengaruhi orang ataupun makhluk lain, sebagai contoh ketika Buddha menakhlukkan seekor gajah yang sedang mengamuk karena dibuat mabuk oleh Devadatta dengan tujuan untuk mencelakakan Buddha. Namun, dengan cinta kasih yang dipancarkan oleh Buddha, gajah tersebut berubah menjadi tunduk dan jinak dihadapan Buddha dan para siswanya (Widjaja, 2006:553).

Contoh lain adalah ketika Bodhisatta, calon Buddha sedang menyempurnakan cinta kasih di salah satu kehidupannya sebelum pangeran Siddhatta mencapai penerangan sempurna. Beliau pernah terlahir sebagai anak muda yang tekun melatih dan mengembangkan mettā. Ayahnya tidak setuju dan menentangnya, sehingga pada suatu hari ketika kemarahan ayahnya memuncak, ia menyuruh seorang prajurit untuk membunuh anaknya. Bodhisatta berpikir dalam hatinya: ”sekarang ini merupakan suatu kesempatan yang sangat baik bagiku untuk melatih mettā. Ayah menentang dan marah padaku; ibu bersedih hati karena tingkah laku ayah padaku; algojo sudah siap untuk memotong tangan, kaki, dan kepalaku. Aku akan menjadi korban yang berada di tengah-tengah. Cinta kasihku memancar ke segala penjuru, sama rata dan tidak mebedakan siapa pun, terus mengalir tidak terganggu sedikit pun. Semoga ayahku tercinta tidak mengalami kesusahan akibat perbuatannya yang tidak mengenal belas kasihan! Semoga aku dapat menjadi Buddha di masa mendatang!”.

Demikianlah beliau melatih dirinya dalam mengembangkan cinta kasih tanpa batas, cinta kasih yang tulus mengharapkan kebahagiaan kepada semua orang tanpa membeda-bedakan ia memancarkan cinta kasihnya baik kepada orang yang membenci, menyayangi, atau yang bersifat netral kepadanya.

2. Belas Kasihan (karunā)

Sifat luhur kedua yang dapat memuliakan seseorang adalah belas kasihan (karunā), yang diartikan sebagai hal yang membuat hati yang baik bergetar ketika pihak lain terkena musibah, atau sesuatu yang mengusir penderiataan pihak lain. Ciri utamanya adalah keinginan untuk melenyapkan penderiataan pihak lain. Musuh langsungnya adalah kekejaman, himsā­­­ dan musuh tidak langsungnya yaitu dukacita, hawa nafsu, domanassa. Kasih sayang mencakup makhluk yang terkena kesedihan, dan sifat karunā ini mengurangi kekejaman (Uttamo, 2007:270). Hati seseorang yang penuh kasih sayang adalah halus; ia tidak akan berhenti dan tidak puas sebelum dapat meringankan penderitaan orang lain. Bahkan kadang-kadang ia sampai rela mengorbankan hidupnya demi membebaskan orang lain dari segala penderitaannya.

Sebuah kisah dalam cerita Vyaghari Jataka terdapat contoh yang baik mengenai kasih sayang, di mana Sutasoma sebagai seorang Bodhisatta telah rela mengorbankan hidupnya sendiri untuk menolong seekor harimau betina yang sedang kelaparan dan hendak memangsa anak-anaknya yang masih kecil guna menghilangkan rasa laparnya. Bodhisatta mencegah niat harimau betina itu, dan sebagai gantinya ia memberikan tubuhnya sendiri untuk dimakan oleh harimau betina tersebut. Dengan demikian beliau telah menyelamatkan anak-anak harimau dan juga induknya dari kematian yang mengancam, dengan mengorbankan kehidupan beliau.

Karunā merupakan sifat yang empati, turut prihatin terhadap penderitaan yang sedang dialami oleh makhluk lain. Namun apabila perasaan empati ini berlanjut kepada perasaan kalut dan keputusasaan, dan terbawa pada kesedihan yang mendalam, hal ini akan menjadi musuh dari karunā itu sendiri. Karunā bukanlah sifat yang pesimis, melihat penderitaan orang lain sehingga mengakibatkan hilangnya semangat dalam menghadapi hidup. Orang yang memiliki karunā akan sadar; walaupun banyak orang yang tertimpa musibah, mengalami banyak permasalahan dalam hidup, namun di balik itu semua, ada sebuah jalan untuk mengeluarkan mereka dari penderitaan tersebut. Untuk itu keseimbangan batin juga dibutuhkan dalam melatih karunā ini sehingga tidak ada sifat pesimis ataupun optimis.

Unsur kasih sayang dapat mendorong seseorang menolong orang lain dengan ketulusan hati. Orang yang memiliki kasih sayang murni tidak hidup untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk orang lain. Ia mencari kesempatan untuk dapat menolong orang lain tanpa mengharapkan balas jasa dalam bentuk apapun, baik materi ataupun pengormatan sebagai timbal balik dari kebajikan yang ia lakukan. Obyek dari karuna atau kasih sayang adalah orang-orang miskin yang membutuhkan bantuan, orang-orang sakit, orang-orang bodoh, orang-orang jahat, tanpa membeda-bedakan.

Adalah kewajiban bagi mereka yang kaya untuk membantu orang-orang yang miskin, yang kekurangan segala kebutuhan hidup mereka. Dan bagi mereka yang sehat sudah tentu memiliki kewajiban untuk menolong orang-orang yang sedang sakit. Sebenarnya, kasih sayanglah yang menjadi pendorong utama bagi seseorang untuk menolong orang sakit. Kasih sayang ini tidak lain merupakan sifat yang berhubungan dengan kesucian, yang dapat dilihat dalam semua agama dan kemanusiaan. Seorang dokter yang tidak egois ataupun gila akan harta, memberikan pertolongan cuma-cuma terhadap orang-orang yang menderita. Salah satu contohnya adalah seseorang yang amat terkenal dan patut diberi penghormatan, yaitu Dr. Albert Sechweitzer yang menyerahkan waktu dan tenaganya untuk menolong orang-orang di Afrika yang terkena lepra.

Orang-orang yang kejam, pendendam, pemarah, serakah, dan tidak bijaksana patut menerima kasih sayang atau belas kasihan sama seperti halnya mereka yang sakit jasmani atau batin. Mereka hendaknya jangan dibenci, dicemooh atau dihina, bahkan sebaliknya kita harus menaruh rasa kasihan dan sayang kepada mereka, karena sebenarnya orang-orang tersebut akan membuat kehidupannya di masa yang akan datang menjadi sengsara dan penuh dengan penderitaan dengan memiliki dan mengembangkan sifat-sifat negatif tersebut. Buddha pun juga memiliki rasa kasih sayang yang begitu besar terhadap seorang pelacur yang bernama Ambapali, dan Angulimala seorang pembunuh dan perampok yang sangat kejam, yang pada akhirnya mereka sadar dan menjadi orang yang mulia di bawah bimbingan Sang Buddha.

3. Rasa Simpati (muditā)

Sifat luhur yang ketiga adalah muditā atau rasa simpati, yaitu perasaan bahagia melihat orang lain berbahagia atau perasaan gembira yang dapat menghilangkan rasa iri hati. Muditā bukan hanya rasa simpati tetapi juga sukacita yang mendalam dan tulus atas keberhasilan atau kesejahteraan yang dicapai oleh pihak lain. Musuh langsungnya adalah kecemburuan (issā) dan musuh tidak langsungnya adalah kesenangan (pahasā). Muditā memiliki ciri utama yaitu kebahagiaan yang sungguh tulus atas kesejahteraan dan keberhasilan pihak lain (anumodanā).

Objek dari muditā adalah semua makhluk yang sejahtera. Ia mengurangi ketidaksenangan dan iri hati (Uttamo, 2007:270). Corak utama dalam muditā adalah perasaan bahagia melihat kemakmuran dan kesejahteraan orang lain. Sedang tepuk tangan, sorak gembira, dan sebagainya bukanlah corak dari muditā, karena hal tersebut dapat dianggap sebagai musuh tidak langsung dari muditā.

Muditā dipancarkan kepada semua makhluk yang makmur dan sejahtera, yang merupakan sikap ikut merasa berbahagia dan bersyukur. Muditā dapat melenyapkan sifat iri hati, antipati atau tidak senang melihat kemajuan yang dicapai oleh orang lain. Seperti halnya mettā dan karunā yang lebih mudah dikembangkan terhadap orang-orang yang dekat dengan kita, demikian pula dengan muditā. Ia akan terasa lebih sulit dikembangkan kepada orang-orang yang mungkin kurang dekat atau bahkan musuh. Apabila ada seorang musuh yang sedang mengalami kebahagiaan atas apa yang ia capai, tentunya akan lebih sulit untuk ikut merasakan kebahagiaan musuh tersebut. Namun inilah yang harus dikembangkan untuk kedewasaan batin masing-masing. Muditā harus dikembangkan dengan tanpa membeda-bedakan siapa yang mengalami kebahagiaan atau keberhasilan, walaupun lawan sekalipun, hendaknya seseorang tetap menunjukkan sikap turut berbahagia ini terhadapnya.

Dengan demikian tidak menutup kemungkinan orang yang tadinya memiliki prasangka negatif akan merasa dihargai dan merubah pemikirannya setelah mengetahui sikap bermudita-cita yang ditunjukkan kepadanya. Hal tersebut tentunya akan lebih membawa kebahagiaan terhadap semua pihak, dan tidak menutup kemungkinan dapat menyelesaikan permusuhan yang telah lama terjadi. Inilah alasan mengapa setiap orang atau setiap golongan harus berlatih dengan sungguh-sungguh dalam mengembangkan muditā atau rasa simpati dan bergembira atas keberuntungan dan keberhasilan orang atau golongan lainnya, jika mereka ingin meluhurkan dirinya dan menjadi orang yang berbahagia lahir dan batin.

4. Keseimbangan Batin (upekkhā)

Sifat luhur keempat yang merupakan sifat luhur yang paling sukar dan paling penting adalah keseimbangan batin (upekkhā). Dalam bahasa Pāli, kata ”upa” berarti ”dekat”, dan kata ”ikh” berarti ”melihat”; jadi upekkhā berarti melihat dari dekat, yang mempunyai makna: melihat dengan adil, tidak berat sebelah, lurus atau tegak. Secara harfiah upekkhā berarti memandang tanpa berpijak, yaitu tidak dengan kemelekatan ataupun keengganan, tidak ada terikat atau benci, tidak ada rasa senang dan tidak senang. Upekkhā bukan merupakan sikap acuh tak acuh tetapi lebih pada sikap keseimbangan sempurna atau batin yang seimbang di tengah-tengah semua perubahan kehidupan, seperti pujian dan celaan, penderitaan dan kebahagiaan, untung dan rugi, dikenal dan tidak dikenal. Upekkhā juga memandang semua makhluk dengan seimbang, sebagai ahli waris atas hasil perbuatan mereka sendiri, tanpa kemelekatan atau
penolakan. Upekkhā adalah ketenangan yang tidak memihak dari seseorang yang
memahaminya.

Musuh langsung dari upekkhā yaitu kemelekatan (rāga) dan musuh tidak langsungnya adalah perasaan yang beku (acuh). Sikap tidak memihak merupakan ciri utama dari keseimbangan batin ini. Pada umunya orang akan merasa bingung dan kacau apabila mengalami perubahan dari senang menjadi tidak senang, dari terkenal menjadi tidak terkenal, dari kaya menjadi miskin, dipuji dan dicela, dan sebagainya. Dalam hal ini Buddha pernah bersabda: ”orang bijaksana tidak menunjukkan rasa gembira maupun kecewa di tengah-tengah pujian dan celaan. Mereka tetap teguh bagaikan batu karang yang tidak tergoncangkan oleh badai” (Widya, 2002:31).

Terdapat sebuah syair dalam kisah Jataka sebagai berikut: ”persis seperti sikap tanah, apa pun yang manis ataupun pahit, acuh tak acuh ia menerima semuanya, dengan sikap yang sama; begitu pula hendaknya seorang siswa, terhadap sikap yang membenci atau pun yang bersahabat, kebajikan ataupun kajahatan, tetap tenang seimbang mereka menerimanya, inilah dasar perkembangan upekkhā” (Narada, Tanpa tahun:27).

Jadi keseimbangan batin merupakan sikap bijaksana dalam menghadapi segala bentuk permasalahan yang dialami. Tidak menunjukkan rasa suka cita yang berlebihan ketika mengalami kebahagiaan, dan sebaliknya tidak terlarut dalam kesedihan yang sangat mendalam ketika mengalami kesusahan.

Itulah sifat-sifat luhur dalam brahma-vihāra yang merupakan kondisi batin positif dan luhur yang jika dikembangkan pada diri manusia akan dapat mengikis serta melenyapkan sifat yang bertentangan dengannya, seperti kebencian, egois, keserakahan serta dapat menumbuhkan kesabaran dan kebijaksanaan hingga pada kebahagiaan sejati yaitu terbebasnya dari segala bentuk kekotoran batin.

Manfaat Dari Pengembangan Brahma-vihāra

Manusia sebagai makhluk sosial akan saling berinteraksi satu dengan yang lain. Kehidupan manusia yang saling membutuhkan tersebut memerlukan adanya interaksi yang baik antara satu dengan yang lain. Berkenaan dengan hubungan kehidupan bermasyarakat, brahma-vihāra memiliki peran penting untuk menciptakan hubungan yang harmonis dalam masyarakat, di mana pengembangan brahma-vihāra memiliki manfaat yang sangat besar, salah satunya adalah membuat hubungan antar manusia lebih harmonis, saling menghormati dan untuk mewujudkan kerukunan antar umat manusia, seperti yang telah disabdakan oleh Buddha dalam Dasuttara sutta, Digha Nikāya, sebagai berikut:

Duhai para Bhikkhu, dalam ajaran ini, seorang Bhikkhu memiliki pikiran, ucapan dan perbuatan yang disertai cinta kasih terhadap sesama brahmacāri, baik di depan maupun di belakang mereka. Inilah hal yang membuat saling dikenang, saling dicintai, saling dihormati; menunjang untuk saling ditolong, untuk ketiada-cekcokan, untuk kerukunan dan kesatuan (Wowor, 1996:56-57).

Buddha juga bersabda dalam Anguttara Nikāya, menganjurkan kepada para siswanya untuk selalu mengembangkan cinta kasih mengingat begitu besarnya manfaat yang dapat dihasilkan dari pengembangan cinta kasih, seperti yang Buddha sabdakan dalam Anguttara Nikāya:

Para bhikkhu, janganlah takut akan tindakan-tindakan yang berjasa! Tindakan-tindakan yang berjasa ini sama dengan kebahagiaan. Aku telah mengetahui dengan baik bahwa telah lama sekali aku mengalami hasil-hasil yang dikehendaki, menyenangkan dan diinginkan dari tindakan-tindakan berjasa yang sering dilakukan.

Selama tujuh tahun aku telah mengembangkan buah-buah pikir cinta kasih. Setelah mengembangkan hati yang penuh cinta kasih selama tujuh tahun, aku tidak kembali ke dunia ini selama tujuh kalpa dari pengerutan dunia dan pengembangan dunia. Bilamana satu dunia hancur, aku memasuki (lewat kelahiran ulang) alam para dewa Cahaya yang Mengalir, dan jika dunia berkembang lagi, aku terlahir ulang di istana Brahma yang kosong. Dan di sana dahulu aku adalah Mahabrahma, pemenang yang tidak terkalahkan, yang sangat berkuasa. Dan tiga puluh enam kali aku telah menjadi Sakka, penguasa para dewa, dan beratus-ratus kali aku telah menjadi penguasa alam semesta, raja yang adil dan luhur (Cintiawati dan Anggawati, 2002:466).

Buddha begitu menganjurkan kepada para siswanya untuk mengembangkan sifat-sifat mulia yang terdapat dalam brahma-vihāra, khususnya cinta kasih karena semua manusia pasti membutuhkan hal tersebut. Tidak ada seorang pun yang dapat hidup tanpa adanya cinta kasih. Mulai dari dalam kandungan seseorang telah mendapat cinta kasih dari ibunya, hingga orang tersebut beranjak dewasa bahkan sampai usia lanjut pun seseorang masih memerlukan cinta kasih. Dengan kata lain seseorang membutuhkan cinta kasih sejak ia lahir hingga akhir usianya.

Manfaat dari pengembangan brahma-vihāra bagi diri sendiri adalah sebagai berikut: (1) dengan memiliki pikiran yang penuh dengan mettā, maka seseorang akan dapat tidur dengan hati yang tenang dan bahagia karena batinnya terbebas dari kebencian. (2) karena ia tidur dengan perasaan yang penuh dengan mettā, demikian pula ia akan terjaga dengan perasaan penuh dengan mettā. Orang yang bajik dan penuh dengan cinta kasih dan kasih sayang akan bangun dari tidurnya dengan wajah yang berseri-seri. (3) orang yang memiliki cinta kasih dan kasih sayang tidak akan mengalami mimpi buruk dalam tidurnya. Karena sebelum tidur pikirannya selalu dipenuhi cinta kasih, maka mimpinya pun juga akan indah. (4) orang yang selalu memiliki cinta kasih dan kasih sayang akan disegani oleh orang lain. Karena ia mencintai orang lain, maka ia pun akan dicintai pula oleh mereka. Jika seseorang melihat pada sebuah cermin dengan wajah tersenyum, maka ia akan melihat wajah yang sama menghormat kepadanya. (5) selain dicintai oleh orang lain, orang yang memiliki cinta kasih juga dicintai oleh makhluk-makhluk bukan manusia, seperti hewan bahkan para dewa. Seperti suatu kisah di jaman Sang Buddha, di mana sekelompok siswa yang sedang berlatih meditasi di hutan kemudian diganggu oleh makhluk penghuni tempat tersebut. Kemudian Buddha menyarankan kepada para siswanya untuk mengembangkan cinta kasih. Setelah mereka mengembangkan cinta kasih, makhluk-makhluk yang tadinya mengganggunya merasa senang dan tidak menganggu lagi. (6) kekuatan dari getaran pikiran yang mengembangkan cinta kasih dapat mebuat seseorang kebal dari serangan senjata, racun, dan sebagainya. Seperti kisah Sammāvati yang terhindar dari anak panah yang diarahkan kepadanya karena ia selalu memancarkan cinta kasih kepada raja sekalipun raja tersebut membidikkan panahnya dengan niat untuk membunuh Sammāvati. (7) makhluk-makhluk yang tidak terlihat (para dewa) akan melindungi orang yang memiliki cinta kasih karena kekuatan cinta kasihnya yang tidak terbatas. (8) seseorang yang memiliki cinta kasih pikirannya akan selalu tenang dan akan lebih mudah untuk berkonsentrasi dalam melakukan meditasi. (9) seperti halnya sila, pelaksanaan brahma-vihāra juga dapat menambah keindahan wajah seseorang, wajahnya akan memancarkan kewibawaan dan terlihat cerah. (10) orang yang batinnya dipenuhi cinta kasih, kasih sayang, rasa simpati dan memiliki batin yang selalu seimbang akan meninggal dunia dengan tenang, karena tidak ada pikiran membenci yang muncul dalam dirinya. Bahkan setelah meninggal mukanya kelihatan jernih berseri-seri, menggambarkan ketenangan batinnya. (11) apabila seseorang telah terbiasa dalam pengembangan brahma-vihāra hingga mencapai tingkat-tingkat ketenangan batin/jhāna, maka ketika masa kehidupannya telah habis/meninggal dunia, orang tersebut akan dapat terlahir kembali di salah satu alam brahma sesuai dengan tingkatan jhāna yang telah ia capai (Cintiawati, dkk, 2002:680).

Empat sifat luhur yang terdapat dalam brahma-vihāra sangat perlu untuk dikembangkan oleh setiap manusia dalam kehidupan sehari-hari karena hal ini akan membawa manfaat positif bagi diri sendiri ataupun bagi orang lain. Brahma-vihāra merupakan kebajikan yang unggul yang menghasilkan kehidupan yang mulia. Pengembangan brahma-vihāra membuat orang yang mengembangkannya menjadi lebih memiliki sifat cinta kasih, kasih sayang, dan bersimpati kepada semua makhluk.

Mengembangkan brahma-vihāra juga melatih orang agar lebih tenang dalam menghadapi hidup baik pada waktu kebahagiaan datang ataupun kesedihan muncul. Selain itu sifat-sifat brahma-vihāra dapat mengikis dan melenyapkan sifat egois dan ketidakharmonisan, meningkatkan sifat altruisme, persatuan dan persaudaraan sehingga hal ini dapat menjadi dasar terwujudnya kehidupan yang bahagia, damai dan sejahtera (Narada, tanpa tahun:8). Seseorang yang mengembangkan brahma-vihāra akan merasa lebih bahagia dalam hati, lebih tenang dan damai, dan orang lain pun akan terimbas dengan perasaan yang sama. Orang yang selalu tenang dan tidak ceroboh, berpikir sebelum bertindak, ia akan dihormati orang lain bahkan makhluk lain baik yang tampak ataupun tidak tampak (Lama, 2003:60).

Pengembangan terus menerus dan tekun dari kebajikan luhur ini
dalam kehidupan sehari-hari akan membentuk sikap dan pandangan
pelakunya. Empat sifat luhur ini harus menjadi dasar semua tindakan sosial
umat Buddha, demikian pula kedamaian dan keselarasan individual dan
masyarakat. Semangat ini harus ditandai dengan menempatkan kebaikan pribadi menjadi kebaikan bersama.

Agar karya sosial umat Buddha benar-benar bernilai, tindakan itu harus tumbuh dari cinta sejati, simpati, dan pengertian terhadap sifat sesama manusia, dibimbing oleh pengetahuan dan latihan. Karya kesejahteraan harus menjadi ungkapan sempurna dari Belas Kasih, tidak tersentuh oleh sikap menghina, bersih dari kesombongan (bahkan kesombongan akan perbuatan baik yang dilakukan). Empat sifat luhur ini harus dikembangkan dengan rajin melalui usaha yang terus menerus. Sifat-sifat ini tidak akan pernah usang bahkan merupakan sifat-sifat yang dibutuhkan manusia di jaman yang penuh kekacauan dan ketidakdamaian seperti sekarang ini. Sifat-sifat luhur tersebut menyampaikan pesan universal yang akan mengubah manusia menjadi manusia universal.

.

Tujuan Mengembangkan Brahma-Vihāra

Kemenangan menimbulkan kebencian (pada pihak yang kalah), orang yang kalah hidup dalam kesedihan; orang yang batinnya tenang dan damai hidup bahagia, karena ia telah meninggalkan kemenangan dan kekalahan (Widya, 2002:81). Semua orang pasti menginginkan kebahagiaan, keamanan, ketenangan, dan kedamaian dalam hidupnya. Tujuan dari pengembangan brahma-vihāra adalah untuk memperoleh hal-hal tersebut tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi semua makhluk karena obyek dari brahma-vihāra adalah mencakup segala sesuatu tanpa batas dan perbedaan.

Manusia tidak akan dapat mendamaikan orang lain apabila ia tidak dapat berdamai dengan diri sendiri. Tujuan brahma-vihāra ini adalah menemukan kedamaian dalam diri sendiri sebagai langkah awal untuk mewujudkan perdamaian secara luas yang mencakup seluruh dunia. Dengan adanaya cinta kasih, belas kasihan, turut berbahagia atas kebahagiaan orang lain, dan keseimbangan batin dalam pikiran seseorang, maka tidak akan ada kesempatan untuk munculnya pikiran-pikiran jahat (Cintiawati, dkk, 2002:651).

Pada akhirnya pengembangan brahma-vihāra akan menyebabkan pemikiran bahwa semua makhluk memiliki kedudukan yang sama seperti diri sendiri, dan menempatkan kepentingan orang lain sama dengan kepentingan dirinya sehingga tidak membeda-bedakan antara kepentingan diri sendiri dan orang lain (Lama, 2003:62).

Selain itu dengan pengembangan brahma-vihāra akan membuat orang setelah kematiaannya dapat terlahir di alam-alam brahma, seperti yang dikatakan dalam Tevijja sutta, Digha Nikāya:

…Kemudian ia mengembangkan batinnya dengan pikirannya yang penuh cinta kasih (mettā) ke seperempat bagian dunia, ke setengah dunia, ke tigaperempat dunia dan ke seluruh dunia. Dengan demikian seluruh dunia, di atas, di bawah, di sekeliling dan di mana saja, ia secara terus menerus mengembangkan cinta kasihnya, hingga jauh, bertambah luas dan tak terterbatas'
'Kemudian ia mengembangkan batinnya dengan pikirannya yang penuh kasih sayang (karunā) ke seperempat bagian dunia, ke setengah dunia, ke tigaperempat dunia dan ke seluruh dunia. Dengan demikian seluruh dunia, di atas, di bawah, di sekeliling dan di mana saja, ia secara terus menerus mengembangkan kasih-sayangnya, hingga jauh, bertambah luas dan tak terterbatas'.
'Kemudian ia mengembangkan batinnya dengan pikirannya yang penuh empati (muditā) ke seperempat bagian dunia, ke setengah dunia, ke tigaperempat dunia dan ke seluruh dunia. Dengan demikian seluruh dunia, di atas, di bawah, di sekeliling dan di mana saja, ia secara terus menerus mengembangkan empatinya, hingga jauh, bertambah luas dan tak terterbatas'.
'Kemudian ia mengembangkan batinnya dengan pikirannya yang penuh keseimbangan batin (upekkhā) ke seperempat bagian dunia, ke setengah dunia, ke tigaperempat dunia dan ke seluruh dunia. Dengan demikian seluruh dunia, di atas, di bawah, di sekeliling dan di mana saja, ia secara terus menerus mengembangkan keseimbangan batinnya, hingga jauh, bertambah luas dan tak terterbatas'.

Vasettha, bagaikan seorang peniup trompet besar memperdengarkan suara-tanpa kesulitan-di semua empat penjuru; begitu pula semua bentuk dan berbagai ukuran makhluk, tanpa salah satunya dikecualikan, namun dengan memperhatikan mereka semua dikembangkannya pikiran yang bebas dan penuh kasih sayang.

Vasettha, inilah jalan untuk bersatu dengan brahma.

Vasettha, bagaikan seorang peniup trompet besar memperdengarkan suara-tanpa kesulitan-di semua empat penjuru; begitu pula semua bentuk dan berbagai ukuran makhluk, tanpa salah satunya dikecualikan, namun dengan memperhatikan mereka semua dikembangkannya pikiran yang bebas dan penuh empati.

Vasettha, inilah jalan untuk bersatu dengan brahma.

Vasettha, bagaikan seorang peniup trompet besar memperdengarkan suara-tanpa kesulitan-di semua empat penjuru; begitu pula semua bentuk dan berbagai ukuran makhluk, tanpa salah satunya dikecualikan, namun dengan memperhatikan mereka semua dikembangkannya pikiran yang bebas dan penuh keseimbangan batin.

Vasettha, inilah jalan untuk bersatu dengan brahma (Tim Penerjemah, 2002:39-40).

Berkaitan dengan hal meditasi brahma-vihāra mempunyai tujuan akhir untuk menghasilkan suatu keadaan batin yang dapat menjadi landasan yang kokoh untuk penembusan pemahaman mengenai sifat-sifat sejati dari semua fenomena, yaitu ketidakkekalan, penderitaan, dan tanpa inti (Nyanaponika, 2006:4). Pemahaman dari ketiga hal tersebut merupakan akhir dari segala macam penderitaan yang ada di dunia ini, karena ketiga hal tersebut adalah akar dari semua penderitaan, yang menimbulkan ratap tangis, kesedihan, dan keputusasaan yang menimbulkan makhluk-makhluk selalu berputar-putar dalam samsāra.

Keterkaitan Antar Empat Keadaan Luhur dalam Brahma-Vihāra

Empat sifat yang terdapat dalam brahma-vihāra tidaklah berdiri sendiri-sendiri. Sifat-sifat tersebut lebih merupakan suatu sistem yang saling mendukung antara satu dengan yang lainnya (Nyanaponika, 2006:18). Cinta yang tidak tersekat menjaga kasih sayang agar tidak memihak, mencegah dari pendiskriminasian memilih dan mengecualikan. Dengan demikian dapat melindungi dari keberpihakan ataupun ketidaksukaan terhadap yang dikecualikan. Cinta kasih (mettā) kepada semua juga membagi sifat tanpa egonya kepada keseimbangan batin.

Kasih sayang (karunā) mencegah cinta dan rasa simpati melupakan bahwa, selagi keduanya sedang menikmati atau memberikan kebahagiaan yang terbatas dan sementara, pada saat yang bersamaan terdapat keadaan penderitaan yang sangat mengerikan dunia. Kasih sayang, belas kasihan mengingatkan bahwa kebahagiaan mereka ada pada saat yang sama dengan kesengsaraan makhluk lain. Dengan demikian kasih sayang membantu tumbuhnya cinta kasih dan rasa simpati dalam keadaan yang sungguh-sungguh tanpa batas (appamañña), namun tidak menimbulkan perasaan yang optimistis, namun tanpa batas dalam pengembangannya. Welas asih juga menjaga keseimbangan batin agar tidak jatuh ke dalam ketidakpedulian yang dingin, dan menjaganya dari isolasi yang egois dan malas.

Turut berbahagia (muditā) mencegah welas asih terhanyut akibat melihat penderitaan dunia. Muditā melegakan tekanan batin akibat terbakarnya hati karena rasa welas asih. Muditā mengingatkan bahwa selain ada makhuk-makhluk yang sedang mengalami penderitaan, ada pula makhluk-makhluk yang sedang mengalami kebahagiaan di waktu yang sama. Oleh karena itu Muditā mengembangkan karuna menjadi perasaan simpatik yang aktif sehingga tidak timbul perasaan yang pesimis. Mudita juga memberikan keseimbangan batin suatu ketenangan yang lembut yang melunakkan sifatnya yang kaku.

Keseimbangan batin (upekkhā) yang berakar dalam penembusan pemahaman adalah kekuatan kendali diri dan penuntun bagi ketiga keadaan luhur lainnya. Keseimbangan batin menunjukkan arah bagi ketiganya. Walaupun demikian bukan berarti ketiga sifat lainnya tidak lebih penting dari keseimbangan batin, keempat sifat tersebut memiliki peranan yang sama dan saling mendukung (Nyanaponika, 2006:19).

Sesungguhnya dalam pengembangannya keempat sifat luhur ini tidak dapat berjalan sendiri-sendiri, artinya bahwa keempatnya merupakan suatu sistem yang saling mendukung. Cinta kasih, kasih sayang, rasa simpati, dan keseimbangan batin merupakan suatu sifat yang ditujukan kepada pihak lain, sehingga hal ini dapat mengembangkan sifat altruisme seseorang.

Karena keempat sifat yang terdapat dalam brahma-vihāra tersebut saling mendukung satu sama lain, merupakan suatu sistem yang saling terkait, maka keempatnya harus dikembangkan secara seimbang supaya dapat membuahkan hasil yang maksimal. Ketika orang mengembangkan sifat luhur ini dalam pikirannya secara sungguh-sungguh, maka kebijasaan akan berkembang dalam diri setiap orang, sehingga kedamaian akan diperolehnya karena pikirannya akan terbebas dari kebencian, kemarahan atau pun niat jahat lain.

2 Comentários:

Anonim mengatakan...

:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))

Anonim mengatakan...

:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

Blogumulus by Roy Tanck and jide-theater

  ©Template by Dicas Blogger.

TOPO