30 Agustus 2009

PURPOSE OF PRACTISING KAMATTHANA MEDITATION (Perbedaan Antara Samattha & Vipassana)

Penulis Asli: Mahasi Sayadaw Bhadanta Sobhana, Sasanadhaja-siri-pavara-dhammacariya, Agga-ahapandita, Chattha-sangiti-pucchaka;
1. TUJUAN UTAMA MEDITASI AJARAN BUDDHA
Apakah tujuan melaksanakan latihan meditasi?
Latihan meditasi dilaksanakan untuk tujuan

terbebas dari penderitaan kehidupan usia tua, sakit, mati dan seterusnya, merealisasi Nibbana. Semua makhluk hidup ingin hidup berumur panjang tanpa kekerasan, hidup dengan damai, gembira, dan sejahtera tanpa penderitaan usia tua, sakit, mati, dan penderitaan kehidupan lainnnya; namun mereka selalu sia-sia menemukan harapannya itu. Selama masih di dalam roda kehidupan, masih selalu dijumpai usia tua, sakit, kesedihan dan ratapan dikarenakan banyak bahaya dan kejahatan, baik penderitaan fisik dan keluhan mental/batin. Kemudian, setelah menderita rasa yang amat sangat dan penderitaan yang amat berat, diikuti oleh kematian. Dan, itupun tidak berakhir di dalam kematian. Lagi-lagi, terdapat kelahiran dikarenakan kemelekatan untuk menjadi (berwujud). Di dalam kehidupan baru ini mereka pun menjadi korban usia tua, dan penderitaan lainnya. Di dalam cara seperti ini, mereka berkelana di dalam lingkaran tumimbal lahir dari kehidupan ke kehidupan lain, menderita semua jenis derita kehidupan dan tanpa henti. Di dalam mencari sebab utama (akar) dari peristiwa itu menjadi tampak nyata bahwa dikondisikan oleh kelahiran, di sana mengikuti rangkaian : usia tua, sakit, mati, dan penderitaan kehidupan lainnya. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mencegah tumimbal lahir yang berkelanjutan apabila ingin terbebas dari penderitaan kehidupan di dalam usia tua dan sebagainya.
Tumimbal lahir terjadi dikarenakan kemelekatan yang terkandung di dalam kehidupan ini. Kelahiran yang baru hanyalah munculnya sebuah kesadaran yang merupakan hasil dari kemelekatan terhadap objek dari kehidupan sebelumnya. Apabila tidak terdapat kemelekatan, maka tidak akan ada kelahiran baru; oleh karena itu setiap usaha harus ditujukan untuk terbebas dari kemelekatan apabila tidak menginginkan kelahiran yang baru.
Kemelekatan terhadap kehidupan ini tidak berlangsung karena dua alasan : pertama karena tidak mengerti ketidakpuasan/penderitaan batin dan jasmani, dan kedua karena tidak merealisasi bahwa Nibbana jauh lebih luhur bila dibandingkan dengan jenis kebahagiaan lainnya. Sebagai contoh, mirip kasus seseorang yang hidup di daerah yang gersang dan menyedihkan yang dikelilingi oleh banyak bahaya. Secara alamiah ia berpikir meluhurkan desanya itu dan memiliki kemelekatan yang kuat terhadapnya karena ia tidak memiliki pengetahuan yang jelas akan kekurangan daerahnya dan kondisi yang lebih baik dari tempat lainnya. Apabila ia mulai mengetahui kenyataan-kenyataan secara penuh, daerahnya tidak lagi menarik baginya dan ia akan serta merta pindah ke daerah yang baru. Demikian pula, sangatlah penting untuk mencoba mengerti kondisi tak memuaskan dari batin dan jasmani yang menguasai kehidupan ini dan secara mandiri merealisasi superioritas Nibbana dengan sebuah pandangan untuk menghancurkan secara total kemelekatan terhadap kehidupan. Pengetahuan ini dapat diperoleh melalui latihan meditasi yang tepat. Oleh karena itu, setiap orang yang menginginkan untuk terbebas dari penderitaan akibat usia tua, kematian dan sebagainya dan merealisasi Nibbana secara mandiri seyogyanya melaksanakan latihan meditasi.
2. PEMBAGIAN MEDITASI AJARAN BUDDHA
Meditasi dibagi menjadi dua bagian :
1. Samatha – kammatthana
2. Vipassana - kammatthana
1. Latihan samattha-kammatthana akan mengembangkan faktor batin atas delapan pencapaian duniawi (lokiya-samapatti) yang terdiri dari 4 jenis rupa-jhana dan 4 arupa-jhana. Latihan yang berulangkali atas kondisi di dalam jhana ini akan membawa lima kemahiran batin duniawi luar biasa (abhinna 5) sebagai berikut :
 Iddhi-vidha-abhinna .... kekuatan dari satu menjadi banyak dan dari banyak menjadi satu lagi. Kekuatan untuk menembus dinding atau gunung tanpa rintangan, seolah di udara. Kekuatan untuk berjalan di atas air tanpa tenggelam, seolah seperti berjalan di atas tanah. Kekuatan untuk memasuki/ menyelam ke dalam tanah dan muncul lagi di permukaan tanah, seolah seperti ke/ dari dalam air. Kekuatan untuk terbang dengan kaki bersila ke angkasa, seolah seperti burung yang memiliki sayap. Kekuatan untuk menyentuh matahari dan bulan dengan menggunakan tangan.
 Dibba-sota-abhinna .... Telinga dewa, kekuatan untuk mendengarkan suara baik suara manusia maupun makhluk surgawi, jauh maupun dekat.
 Ceto-pariya-abhinna .... Kekuatan untuk mengetahui pikiran orang lain.
 Pubbe-nivassa-abhinna .... Kekuatan untuk mengetahui kejadian kehidupan lampau seseorang.
 Dibba-cakkhu-abhinna .... Mata dewa, kekuatan untuk melihat semua bentuk bentuk dan warna yang jauh maupun dekat, baik besar maupun kecil.
Memiliki atribut-atribut ini tetap tidak akan menjamin/membawa ke kebebasan dari ketidakpuasan kehidupan, usia tua, kematian dan seterusnya. Kematian seseorang yang mamiliki jhana secara utuh akan menyebabkan tumimbal lahir di alam para Brahma yang jangka waktu kehidupannya sangat panjang; bisa satu usia dunia atau dua kali atau empat kali atau delapan kali usia dunia dan seterusnya, sesuai kasus per kasus.
2. Melalui latihan Vipassana-kammatthana seseorang dapat merealisasi Nibbana dan memenangkan kebebasan mutlak dari penderitaan kehidupan.
Vipassana-kammatthana dibagi menjadi dua sub bagian, yaitu :
• Samattha-yanika, seseorang yang mengambil dasar permulaan latihan samatha kammatthana untuk merealisasi Nibbana.
• Suddha-vipassana-yanika, seseorang yang secara langsung melatih vipassana kammatthana untuk merealisasi Nibbana, tanpa melalui awal samatha kammatthana.
3. EMPAT PULUH POKOK/SUBJEK MEDITASI
Di dalam naskah, terdapat empat puluh pokok/subjek meditasi, beberapa di antaranya dapat digunakan sebagai latihan dasar samatha untuk melaksanakan latihan vipassana. Empat puluh pokok/subjek meditasi itu adalah :
1. 10 kasina (alat permenungan)
2. 10 asubha (ketidakmurnian)
3. 10 anussati (perenungan)
4. 4 Brahma vihara (sikap batin luhur)
5. 4 arupa (tahapan arupa – jhana)
6. 1 Ahare-patikula-sanna (perenungan atas makanan yang menjijikan)
7. 1 Catu-dhatu-vavatthana (analisis empat unsur)
Sepuluh kasina terdiri dari :
1. Kasina tanah (Pathavi)
2. Kasina air (Apo)
3. Kasina api (Tejo)
4. Kasina udara (Vayo)
5. Kasina warna biru gelap (Nila)
6. Kasina warna kuning (Pita)
7. Kasina warna merah darah (Lohita)
8. Kasina warna putih (Odata)
9. Kasina cahaya (Aloka)
10. Kasina ruang terbatas (Akasa)
Sepuluh Asubha terdiri dari :
1. Sebuah mayat membiru (Vinilaka)
2. Sebuah Mayat membengkak (Uddhumataka)
3. Sebuah Mayat terinfeksi/bernanah (Vipubbaka)
4. Sebuah Mayat terbelah dua (Vicchiddaka)
5. Sebuah mayat yang telah digigit binatang buas (Vikkhayittaka)
6. Sebuah mayat yang terserak hancur (Hatavikkhittaka)
7. Sebuah mayat yang terpotong-potong dan berserakan (Vikkhittaka)
8. Sebuah mayat yang berdarah (Lohitaka)
9. Sebuah mayat yang terinfeksi cacing/belatung (Puluvaka)
10. Sebuah tengkorak (Atthika)
Sepuluh Anussati terdiri dari :
1. Perenungan terhadap kualitas-kualitas Buddha (Buddhanusati)
2. Perenungan terhadap kualitas-kualitas Dhamma (Dhammanussati)
3. Perenungan terhadap kualitas-kualitas Sangha (Sanghanussati)
4. Perenungan terhadap kemoralan seseorang (Silanussati)
5. Perenungan terhadap kemurah-hatian seseorang (Caganussati)
6. Perenungan terhadap kualitas untuk tumimbal lahir sebagai dewa (Devatanussati), yaitu keyakinan teguh (saddha), kemoralan (sila), kemauan belajar dan mendengarkan Dhamma (suta), kemurah-hatian (cage) dan kebijaksanaan (panna)
7. Perenungan terhadap Nibbana (Upasamanussati)
8. Perenungan akan kepastian kematian (Marananussati)
9. Perenungan atas 32 (tiga puluh dua) bagian tubuh (Kayagatasati), seperti : rambut, bulu tubuh, kuku, gigi, kulit, dan seterusnya.
10. Perenungan terhadap kaluar dan masuknya nafas (Anapanasati)
Empat Brahma Vihara terdiri dari :
1. Cinta kasih yang universal terhadap semua makhluk (metta)
2. Belas kasih terhadap makhluk menderita (karuna)
3. Simpati atas keberhasilan / pencapaian makhluk lain (mudita)
4. Keseimbangan batin sempurna (upekkha)
‘’.....Berdiam dengan batin yang dipenuhi oleh cinta kasih universal yang diarahkan ke arah pertama, kemudian ke arah kedua. Kemudian ke arah ketiga. Kemudian ke arah keempat, demikan pula, ke atas, ke bawah, dan ke sekeliling dan ke segala penjuru kepada semua makhluk, seperti terhadap dirinya. Ia memancarkan ke segenap dunia dengan batin dipenuhi oleh cinta kasih universal, batin yang lapang, berkembang, tanpa batas, terbebas dari kebencian dan niat jahat ……. dengan batin yang dipenuhi oleh belas kasihan, oleh sikap simpati terhadap pencapaian/keberhasilan mahluk lain, dan oleh keseimbangan yang sempurna ......” (Jivaka Sutta, Majjhima Nikaya, Sutta Pitaka).
Empat Arupa, terdiri dari :
1. Berdiam dalam permenungan atas kondisi ruangan yang tanpa batas (Akasanancayatana)
2. Berdiam dalam permenungan atas alam kesadaran yang tak terbatas (Vinnanancayatana)
3. Berdiam dalam permenungan atas alam kekosongan (Akincannayatana)
4. Berdiam dalam permenungan atas kondisi alam bukan pencerapan juga bukan pencerapan (Nevasannanasannayaatana)
4. DESKRIPSI SINGKAT LATIHAN SAMATHA-KAMMATTHANA
1. Pathavi Kasina Kammattha dan pencapaian Jhana
Seseorang yang mengambil subjek meditasi dengan memilih Kasina tanah (Pathavi-kasina) untuk permenungannya. Seyogyanya memperhatikan sebongkah tanah di atas tanah atau alat berupa segumpal tanah yang merenungkannya dengan mengatakan di dalam batin: “pathavi, pathavi, pathavi” atau “tanah , tanah , tanah”. Setelah merenungkan berulang kali untuk sejumlah waktu tertentu, gambaran alat-tanah yang kuat dan jelas akan muncul di dalam batin seolah-olah dilihat langsung oleh indera penglihatan (mata). Penampilan gambaran batin ini disebut Uggaha-nimitta (bayangan yang diperoleh). Segera setelah bayangan (nimitta) ini menjadi kuat dan stabil di dalam batin, ia dapat pergi ke mana pun dan mengambil posisi apa saja, baik posisi duduk, berjalan, berdiri atau berbaring. Ia seyogyanya kemudian melanjutkan untuk merenungkan Uggaha-nimitta itu dengan mengatakan dalam batin “pathavi, pathavi, pathavi” atau “tanah, tanah, tanah”. Selama waktu permenungan ini dapat terjadi bahwa batin tidak tetap terfokus pada objeknya namun sering kali mengembara/ melayang-layang mengalami objek lainnya dalam hal-hal sebagai berikut :
1. Batin sering berfikir akan objek-objek yang diinginkan nafsu indera. Ini adalah Kamacchanda-nivarana (rintangan batin keinginan nafsu indera).
2. Batin sering bercokol pada pikiran-pikiran sedih dan marah. Ini adalah Vyapada-nivarana (rintangan batin keinginan jahat / niat buruk).
3. Terdapat kekenduran di dalam permenungan dan batin sering bosan dan kabur. Ini adalah Thina-middha-nivarana (rintangan batin kemalasan dan kelambanan batin).
4. Batin sering tidak stabil namun gelisah, dan batin sering khawatir dalam merenungkan dalam merenungkan perbuatan buruk melalui ucapan dan tindak-tanduk jasmani yang telah lampau. Ini adalah Uddhaca-kukkucca-nivarana (rintangan batin kegelisahan dan kekhawatiran).
5. Batin sering memikirkan “apakah permenungan yang sedang dilakukan ini adalah sebuah metode yang benar. Apakah metode ini dapat membawa hasil yang bermanfaat. Apakah ada kesempatan untuk meraih hasil yang baik.” Ini adalah Vicikiccha-nivarana (rintangan batin keraguan skeptis).

Kelima rintangan (nivarana) ini seyogyanya dipotong segera setelah mereka muncul dan batin seyogyanya kembali mengambil objek ‘ugghana-nimitta’ misalnya dengan merenungkan sebagai: ‘pathavi, pathavi, pathavi’ atau ‘tanah, tanah, tanah’. Apabila batin kehilangan ugghana-nimitta sebagai objek, maka ia seyogyanya kembali ke tempat asal alat-tanah itu dan melakukan perenungan lagi: ‘pathavi, pathavi, pathavi’ atau “tanah, tanah, tanah” seperti yang dilakukan pada permulaan latihan. Kemudian ia seyogyanya kembali ke tempat yang sama dan melanjutkan dengan permenungan di dalam berbagai posisi tubuh, baik duduk, berdiri, berbaring maupun berjalan.
Dengan melakukan permenungan demikian terhadap objek uggaha-nimitta secara berulang-ulang dalam waktu yang cukup lama, objek tersebut akan 'terlihat' jelas dan mirip penampilan kristal tidak seperti penampakan awalnya. Ini disebut 'Patibhaga-nimitta' (bayangan keseimbangan). Kondisi batin seperti ini dikenal dengan 'Upacara-samadhi' (konsentrasi berdekatan). Kini, dengan secara berkesinambungan batin berada dalam ‘Upacara-samadhi’ dengan objeknya Patibhaga-nimitta, batin mencapai satu keadaan seolah tenggelam ke dalam objek dan berdiam secara menetap di dalamnya. Tahap ketetapan dan kestabilan batin ini dikenal sebagai 'Appana-samadhi' (konsentrasi pencapaian). Terdapat empat jenis Appana-samadhi untuk rupa jhana, yaitu:
(a) Jhana pertama, (b) Jhana kedua, (c) Jhana ketiga, (d) Jhana keempat .
a. Di dalam jhana pertama lima faktor batin yang hadir secara nyata adalah:
o Faktor batin yang berfungsi dalam penerapan/ perenungan awal/ pengarahan terhadap objek (vitakka)
o Faktor batin yang berfungsi dalam penerapan penambatan terhadap objek (vicara)
o Faktor batin yang berfungsi dalam menimbulkan suka cita/ kegiuran (piti)
o Faktor batin yang berfungsi dalam menimbulkan kegembiraan (sukkha)
o Faktor batin yang berfungsi dalam konsentrasi terfokus kuat terhadap objek (ekaggata)
b. Seseorang yang telah mencapai tahap Jhana pertama dan ahli, melihat ketidakpuasan di dalam dua faktor batin pertama di atas, yaitu vitakka dan vicara, melanjutkan lagi melakukan perenungan untuk mengatasi kedua faktor batin tadi, dan berhasil mencapai tahap jhana kedua, yang kondisi faktor batin paling menonjolnya ada tiga, yaitu piti, sukha, dan ekaggata.
c. Dengan melihat ketidakpuasan yang terdapat di dalam ‘piti’ ia melanjutkan dengan perenungannya untuk mengatasi piti dan berhasil mencapai tahap jhana ketiga yang kondisi faktor batin paling menonjolnya ada dua, yaitu sukha dan ekaggata.
d. Dengan melihat ketidakpuasan yang terdapat di dalam ‘sukha’ ia melanjutkan dengan perenungan untuk mengatasi faktor batin sukha tersebut dan berhasil mencapai tahap jhana keempat yang kondisi faktor batin paling menonjolnya ada dua, yaitu ‘upekkha’ (keseimbangan) dan ekaggata.
Inilah diskripsi singkat cara untuk merenungkan Pathavi kasina dan pengembangan bertahap keempat tingkat jhana. Hal yang sama dapat dilakukan untuk kasina yang lain.
Di dalam hal seseorang yang memilih salah satu pokok meditasinya ‘Asubha’ sebagai subjek konsentrasinya, ia seyogyanya melihat ke arah seonggok mayat membengkak, atau mayat membiru, dan seterusnya, dan merenungkan dengan mengatakan di dalam batin 'mayat membengkak, mayat membengkak,' 'mayat membiru, mayat membiru', dan seterusnya. Ia seyogyanya kemudian melaksanakan perenungan di dalam cara yang sama seperti kasus pathavi-kasina. Perbedaan yang ada adalah bahwa perenugan subjek Asubha hanya akan mengantarkan untuk pencapaian tingkat Jhana pertama.
Perenungan terhadap 32 bagian tubuh, (Kayagata-sati) juga hanya akan mengantarkan untuk pencapaian tingkat Jhana pertama.
Delapan perenungan yang terdiri dari Buddhanussati sampai dengan marananussati; makanan yang menjijikan (aharepatikkula-sanna); dan analisa empat unsur (catu-dhatu-vavatthana) akan membawa hanya sampai tahap upacara-samadhi.
Tiga dari empat Brahma vihara, yaitu metta, karuna dan mudita akan membawa sampai dengan tingkat Jhana ketiga, namun seseorang yang telah melakukan meditasi melalui perenungan satu dari tiga brahma vihara ini yang telah mencapai tingkat jhana ketiga, juga akan mencapai tingkat jhana keempat dengan melaksanakan perenungan brahma vihara keempat, yaitu upekkha.
Mereka yang telah mencapai tingkat jhana keempat melalui permenungan kasina, akan mencapai tingkat-tingkat 4 Arupa Jhana dengan merenungkan empat Arupa secara berurutan.
2. Anapana-sati Kammatthana
Seseorang yang memilih Anapanasati sebagai subjek perenungan seyogyanya tinggal di tempat yang sunyi dan duduk dengan kaki bersila atau di dalam cara yang nyaman sehingga dapat duduk di dalam jangka waktu yang cukup lama, dengan badan yang tegak, dan kemudian menetapkan perhatiannya pada celah/lubang hidung. Ia kemudian akan mengetahui secara jelas sensasi sentuhan di ujung hidung atau di sisi sebelah atas bibir, yang disebabkan oleh kontak berkesinambungan dari aliran nafas masuk dan keluar. Aliran ini seyogyanya diamati pada titik sentuhannya dan direnungkan dengan mengatakan dalam batin: “keluar, masuk, keluar, masuk” pada setiap aktivitas nafas masuk dan nafas keluar. Batin seyogyanya tidak pergi bersama aliran itu, baik perjalanan nafas masuk maupun perjalanan nafas keluar, namun seyogyanya tetap pada titik sentuhan tadi.
Selama di dalam perenungan, akan terdapat banyak rintangan di mana batin akan mengembara/ melayang-layang. Rintangan ini seyogyanya tidak diikuti lebih lanjut, namun perhatian seyogyanya dikembalikan ke titik sentuh dan merenungkan kembali sebagai “masuk, keluar, masuk, keluar” sesuai aktivitas nafas masuk dan nafas keluar.
Dengan cara berkesinambungan mengamati titik sentuhan dan melaksanakan perenungan:
1. Nafas masuk dan nafas keluar yang panjang menjadi jelas teramati ketika mereka panjang.
2. Nafas masuk dan nafas keluar yang pendek menjadi jelas teramati ketika mereka pendek.
3. Setiap rangkaian nafas masuk dan nafas keluar yang lembut pada awal, pertengahan dan akhirnya menjadi jelas teramati dari titik sentuhan ujung hidung hingga ke tempat nafas itu meninggalkan hidung, dan
4. Perubahan bertahap dari nafas masuk dan keluar yang kuat ke nafas masuk dan keluar yang lebih halus menjadi jelas teramati.
Sejalan dengan nafas masuk dan keluar menjadi lebih halus dan lebih halus lagi, maka nafas tersebut akan ‘tampak’ seolah nafas tersebut padam total. Di dalam kasus seperti ini, umumnya waktu terbuang untuk mencari objek nafas masuk dan nafas keluar dengan mencoba meneliti penyebab padamnya nafas dan akhirnya tetap sia-sia tanpa melaksanakan perenungan. Namun demikian, janganlah membuang waktu dengan cara demikian; apabila batin dengan penuh perhatian kembali tetap mengamati titik sentuhan pada ujung hidung atau sisi bibir sebelah atas maka aliran nafas masuk dan keluar yang halus akan ‘tampak’ lagi dan akan tercerap dengan sangat jelas.
Dengan terus-menerus merenungkan nafas masuk dan nafas keluar, maka aliran nafas itu akan tergambar/terbayangkan dalam bentuk atau ukuran khusus. Berikut ini adalah yang dinyatakan di dalam kitab Visuddhi-magga (Jalan Kesucian/ Kemurnian batin).
Untuk orang tertentu, nafas masuk dan nafas keluar 'tampak' seperti sebuah bintang atau sebuah permata atau sebuah berlian, bagi yang lainnya dengan sebuah sentuhan kasar seperti dari kain sutera, atau sebuah tonggak terbuat dari hati kayu, bagi yang lainnya mirip benang panjang terurai atau sekuntum bunga atau segumpal asap rokok, sedangkan bagi yang lainnya mirip sebuah sarang laba-laba atau sebuah lapisan awan atau sekuntum bunga teratai atau sebuah roda kereta atau sebuah piringan bulan atau matahari. Dinyatakan bahwa keragaman bentuk atau objek bayangan itu disebabkan oleh perbedaan (sanna) individu yang mengalaminya. Bentuk objek yang khusus ini adalah “Patibhaga Nimitta”. Konsentrasi (samadhi) yang kemudian dikembangkan dengan 'Patibhaga-nimitta' sebagai objeknya, disebut ‘Upacara-samadhi’. Dengan secara berkesinambungan merenungkan dibantu oleh Upacara-samadhi maka tingkat appana-samadhi dari tahapan 4 Rupa Jhana akan berkembang.
Inilah deskripsi singkat LATIHAN PERMULAAN samatha yang dilakukan oleh seorang 'samatha-yanika' yang memilih 'samatha-kammatthana', sebagai dasar untuk merealisasi Nibbana.
Mereka yang berhasrat untuk melatih vipassana seyogyanya pertama-tama dibekali dengan seperangkat pengetahuan, baik secara singkat maupun mendalam, namun cukup, terhadap kenyataan bahwa makhluk hidup terdiri dari dua komponen, yaitu jasmani (rupa) dan batin (nama); bahwa jasmani dan batin terbentuk dikarenakan sebab dan akibat; dan bahwa jasmani dan batin berada dalam proses perubahan yang terus-menerus; oleh karena itu jasmani dan batin tidak kekal, tidak memuaskan dan tidak mengandung kepemilikan/keakuan/ ‘atta’.

5. DISKRIPSI SINGKAT LATIHAN VIPASSANA

1. Samatha-yanika
Seseorang yang telah cukup pengetahuannya seperti disebutkan di atas seyogyanya pertama-tama berada di dalam jhana yang telah dicapainya dan kemudian merenungkannya.
Ia seyogyanya kemudian melanjutkan dengan merenungkan secara berkesinambungan sensasi-sensasi, seperti melihat, mendengar, mencium bau, mengecap rasa, mengetahui sentuhan, dan seterusnya sebagaimana mereka muncul dengan jelas pada salah satu dari enam pintu indera. Apabila ia merasa lelah atau bosan dengan melaksanakan terus-menerus perenungan akan beragam objek (pakinnakasankhara) ia seyogyanya memasuki jhana lagi dengan menetapkan tekad yang kuat bahwa jhana tersebut akan berlangsung selama 15 atau 30 menit. Apabila keadaan jhana telah berlalu ia seyogyanya kemudian segera merenungkan keadaan jhana tadi dan kemudian dilanjutkan dengan merenungkan secara berkesinambungan sensasi-sensasi indera sebagaimana mereka muncul pada saat salah satu dari enam pintu indera. Prosedur bergantian dari memasuki keadaan jhana dan kemudian dilanjutkan dengan perenungan sensasi indera pada enam pintu indera seyogyanya dilakukan dengan berulang kali. Apabila vipassana-samadhi telah cukup kuat, ia akan dapat melaksanakan perenungan berkesinambungan siang dan malam tanpa merasa terhambat.
Pada tingkat ini dapat dicerap dengan sangat jelas sebagai satu keteraturan pada setiap saat perenungan bahwa jasmani dan batin merupakan dua hal yang berbeda yang bekerja sama. Juga dapat dicerap bahwa objek dan batin yang secara langsung mengetahui objek tersebut, muncul dan padam pada setiap saat perenungan. Oleh karena itu, dimengerti bahwa jasmani dan batin terbukti dengan jelas tidak kekal, bahwa mereka tidak memuaskan, tanpa kualitas atau keberadaan yang menyenangkan, dan bahwa mereka semata-mata merupakan proses muncul dan padam dari segala sesuatu yang tidak mengandung 'atta' (jiwa atau keberadaan kekal). Dengan perkembangan penuh dari pengetahuan langsung ata “annica, dukkha, anatta” terealisasilah pengetahuan bijaksana akan Magga, Phala dan Nibbana.
Inilah deskripsi singkat latihan dengan cara ‘samatha-yanika’ untuk tujuan merealisasi Nibbana.
2. Suddhavipassana-yanika
Di bawah ini, adalah diskripsi singkat latihan dengan cara ‘suddha-vipassana-yanika’.
Dengan pengetahuan cukup seperti yang disebutkan di atas, seseorang yang berhasrat untuk latihan ‘vipassana’ seyogyanya menetap di tempat sunyi dan duduk dengan kaki bersila atau dalam cara yang nyaman sehingga ia dapat duduk dalam waktu yang cukup lama, dengan badan tegak, dan kemudian merenungkan dengan memusatkan perhatiannya terhadap fenomena jasmani dan batin yang diketahui sebagai ‘upadanakkhandha’, dan yang secara jelas muncul di dalam tubuhnya. Fenomena-fenomena ini seyogyanya secara berkesinambungan direnungkan pada setiap saat kemunculannya.
Upadanakkhandha adalah semua yang secara jelas dicerap pada saat melihat, mendengar, mencium bau, mengecap, mengalami kontak badan/sentuhan dan memikirkan ide/gagasan dan seterusnya.
Pada saat melihat, objek penglihatan dan indera pengelihatan/'mata', keduanya dicerap. Keduanya itu merupakan kelompok meteri (rupa). Mereka bukanlah menyenangkan, bukan pula ‘atta’ dan bukan ‘orang’. Mereka yang tidak merenungkan pada saat kemunculannya tidak akan mengerti bahwa 'mereka segera padam dan tidak kekal', bahwa mereka 'muncul dan padam tanpa henti dan oleh karenanya tidak memuaskan', bahwa mereka bukan ‘atta’ bukan pula keberadaan hidup, namun anatta di mana mereka merupakan subjek bagi sebab dan akibat di dalam proses muncul dan padam. Dikarenakan materi menjadi objek kecenderungan kekeliruan dan kemelekatan, maka mereka disebut ‘upadanakkhandha’ atau ‘kelompok yang menimbulkan kemelekatan’.
Kesadaran melihat (cakkhu-vinnana), perasaan (vedana), pencerapan (sanna) akan objek pengelihatan, dan keinginan untuk melihat objek, bentuk/faktor batin (sankhara) juga secara jelas dicerap pada saat melihat. Mereka semata-mata kelompok batin. Mereka bukan menyenangkan, bukan 'atta', bukan pula 'orang'. Mereka yang tidak merenungkan pada setiap saat kemunculan fenomena itu, tidak akan mengerti bahwa mereka tidak kekal, tidak memuaskan dan 'anatta'. Oleh karena itu, mereka menganggap bahwa fenomena batin ini menyenangkan dan melekat kepadanya. Mereka secara egois menganggap “Saya melihat”, “Saya merasakan”, “Saya mencerap”, “Saya melihat dengan penuh perhatian” dan melekat kepadanya. Inilah alasan yang jelas mengapa kelompok batin ini secara berurut disebut “vinnana upadanakkhandha, vedana upadanakkhandha, sanna upadanakkhandha, dan sankhara upadanakkhandha”. Inilah alasan mengapa lima “upadanakkhandha” secara jelas dicerap dengan jelas pada saat melihat objek penglihatan melalui pintu indera penglihatan ('mata').
Dengan cara yang sama, kelima upadanakkhandha dicerap dengan jelas pada saat mendengar suara melalui indera pendengaran, mencium bau melalui indera penciuman, mencerap rasa kecapan melalui indera pengecapan, mengetahui sensasi sentuhan melalui indera sensasi sentuhan, mengetahui objek batin melalui indera pikiran. Namun demikian di dalam kasus objek batin, mungkin dialami unsur batin maupun unsur fisik/materi.
Walaupun fenomena jasmani dan batin muncul dengan jelas pada saat melihat, mendengar dan seterusnya melalui pintu indera yang bersesuaian, tidaklah mungkin bagi seorang pemula untuk merenungkannya di dalam urutan kemunculannya pada saat memulai latihan vipassana. Di dalam vipassana, latihan dimulai dengan merenungkan hal khusus, objek yang paling mudah hadir di dalam jasmani. Mirip seperti di sekolah, sebagai ketentuan keharusan saat memulai pelajaran, maka pelajaran-pelajaran mudah terlebih dulu yang dipelajari. Dari kedua jenis fenomena, batin dan materi, maka fenomena materi yang lebih mudah dicerap, seyogyanya dipilih sebagai objek perenungan awal atau utama di dalam vipassana-kammatthana. Lagi, dari berbagai kelas fenomena materi, dibandingkan objek-objek dari pintu indera (upada-rupa) ketika melihat, mendengar, mencium bau, mengecap rasa kecapan maka kontak jasmaniah (bhuta-rupa) merupakan objek yang lebih mudah dicerap, seyogyanya diambil sebagai objek utama/permulaan untuk perenungan saat memulai latihan vipassana.
Oleh karena itu, dengan satu pandangan untuk mengamati kontak jasmani khusus yang lebih mudah dicerap, perhatian seyogyanya ditetapkan pada posisi duduk dan merenungkan secara berkesinambungan, dengan membuat catatan secara batiniah seperti : 'duduk, duduk'. Pada saat perenungan mencapai kematangan, maka dengan jelas akan dapat diamati sensasi kontak jasmani pada paha atau kaki atau bagian tubuh lainnya. Sensasi kontak jasmani khusus ini seyogyanya diambil sebagai objek tambahan bersama 'duduk' dan secara berkesinambugan direnungkan sebagai 'kontak, duduk, kontak'. Namun demikian, apabila perenungan dengan cara demikian seperti 'kontak, duduk, kontak' sulit untuk dimulai, maka perhatian seyogyanya ditetapkan pada kontak jasmani saat aliran nafas masuk dan keluar dengan cara merenungkan 'kontak, kontak'. Apabila hal ini pun sulit dilakukan maka perenungan seyogyanya ditetapkan dengan memperhatikan gerakan perut yang mengembang dan mengempis, disebabkan oleh aliran keluar dan masuknya nafas.
Inilah ilustrasi untuk menunjukkan tata cara perenungan. Pertama-tama perhatian seyogyanya ditetapkan pada perut. Kemudian akan dirasakan bahwa perut mengembang dan mengempis dan gerakan perut selalu hadir. Apabila pada saat permulaan latihan, gerakan naik dan turunnya perut tidak jelas dengan hanya menetapkan perhatian kepada perut, satu atau kedua tangan seyogyanya ditempatkan pada perut. Penekanan nafas, mempercepat atau membuat nafas dalam seyogyanya tidak dilakukan. Aliran nafas alamiah seyogyanya dipelihara. Saat perut mengembang seyogyanya direnungkan dengan ditetapkan secara bertahap dengan tahap naiknya perut sejak mulai hingga berakhir. Saat perut dirasakan mulai turun (mengempis) seyogyanya direnungkan di dalam batin sebagai 'mengempis'. Perhatian seyogyanya ditetapkan secara bertahap dengan tahap turunnya perut sejak mulai hingga berakhir.
Perhatian khusus
Disebutkan di sini bahwa kata-kata 'naik/mengembang' dan 'turun/mengempis' seyogyanya tidak diulangi dengan mulut, namun mereka seyogyanya diulangi di dalam batin. Di dalam kenyataannya, kata-kata bukan kepentingan yang nyata. Justru mengetahui gerakan perut dan gerakan jasmani yang sebenarnya merupakan kepentingan yang nyata. Namun demikian, dengan hanya merenungkan yang dilakukan melalui tindakan sederhana dari pengamatan batin tanpa aktivitas pengulangan di dalam batin, perenungan akan sia-sia dan tidak efektif dan banyak kemunduran seperti perhatian gagal untuk mencapai cukup dekat terhadap objek yang dituju, objek tidak jelas perbedaannya dan dicerap secara terpisah dan bahwa energi yang dibutuhkan menjadi bekurang. Jadi, agar mencapai sasaran perenungan seyogyanya dilaksanakan secara berulang-ulang dalam batin dengan kata-kata khusus atas objek-objek yang bersesuaian.
Ketika sedang dalam perenungan seperti 'naik, turun', mungkin akan terdapat banyak kesempatan ketika batin ditemukan mengembara ke objeknya masing-masing. Pengembaraan batin ini seyogyanya direnungkan sebagaimana mereka muncul.
Ilustrasi
Apabila dialami bahwa pikiran mengembara ke objek yang bukan sedang diamati, seyogyanya direnungkan sebagai : 'mengembara', apabila pikiran bermaksud sesuatu seyogyanya direnungkan sebagai 'bermaksud'. Apabila pikiran sedang merenung, seyogyanya direnungkan sebagai 'merenung', bila menginginkan sesuatu seyogyanya direnungkan 'ingin', dalam hal gembira, atau marah, atau kecewa, seyogyanya direnungkan sebagai 'gembira', 'marah', 'kecewa'; apabila merasa malas atau senang seyogyanya direnungkan sebagai 'malas' atau 'senang'. Perenungan seyogyanya dilakukan secara berulang hingga faktor batin yang mengembara ini padam. Kemudian, perenungan seyogyanya kembali kepada objek semula 'naik', 'turun' dan dilakukan secara berkesinambungan.
Apabila sensasi yang tidak menyenangkan (dukhavedana), seperti rasa lelah pada anggota tubuh atau perasaan panas atau nyeri, dan sebagainya muncul di dalam jasmani, perhatian seyogyanya difokuskan ke titik sensasi dan perenungan dilakukan seperi : 'lelah, lelah', 'panas, panas', 'nyeri, nyeri', sesuai kasusnya. Apabila sensasi tak menyenangkan itu telah paham, maka perenungan dikembalikan ke 'naik, turun' perut sesuai objek semula.
Namun apabila sensasi nyeri begitu kuat sehingga mereka tidak dapat ditoleransi lagi, maka posisi tubuh dan posisi tangan serta kaki harus diubah maka meringankan situasi. Di dalam perubahan posisi ini pun perhatian seyogyanya ditetapkan kepada gerakan yang paling nyata (mayor) dari tubuh/jasmani dan anggota tubuh dan perenungan dilaksanakan seperti 'menekuk', 'meregang', 'mengayun', 'bergerak', 'mengangkat', 'meletakkan ke bawah', dan seterusnya, sesuai urutan proses perubahan tersebut. Apabila perubahan itu telah selesai maka perenungan dikembalikan kepada 'naik', 'turun'-nya perut sesuai objek semula.
Pada saat sesuatu sedang diperhatikan, seyogyanya direnungkan sebagai 'memperhatikan', 'melihat'. Apabila sesuatu dilihat tanpa diperhatikan, seyogyanya direnungkan sebagai 'melihat, melihat'. Apabila seseorang akan mendengarkan sesuatu, seyogyanya direnungkan sebagai 'mendengar', 'mendengar'. Apabila sesuatu didengar tanpa mendengarkan seyogyanya direnungkan sebagai 'mendengar', 'mendengar'. Apabila pikiran merenungkan mengikuti maka seyogyanya direnungkan sebagai 'merenungkan', 'merenungkan'. Kemudian perenungan dikembalikan ke 'naik', 'turun'-nya perut sesuai objek semula. Dalam kasus perubahan posisi dari duduk menjadi berdiri dan perubahan ke posisi berbaring, perenungan seyogyanyan dilakukan dengan menetapkan perhatian terhadap setiap pergerakan mayor yang nyata dari jasmani dan anggota tubuh sesuai urutan proses pergerakan perubahan tersebut. Di dalam hal berjalan, perenungan seyogyanya dilakukan dengan menetapkan perhatian terhadap gerakan setiap langkah dari saat mengangkat kaki hingga kembali meletakkan kaki dan dengan membuat catatan secara batiniah sebagai 'berjalan, berjalan' atau 'bergerak maju, bergerak maju', atau 'mengangkat, bergerak maju, meletakkan kaki'.
Secara singkat, dapat dikatakan bahwa perenungan seyogyanya dilaksanakan terhadap semua aktivitas jasmani dan anggota tubuh seperti menekuk, meregang, mengangkat, bergerak, dan seterusnya, untuk mengetahui bentuk sebenarnya ketika mereka muncul. Perenungan seyogyanya dilaksanakan dilaksanakan terhadap setiap sensasi fisik dan perasaan batin (vedana) untuk mengetahui sifat alamiahnya ketika mereka muncul. Perenungan juga seyogyanya dilaksanakan terhadap semua gagasan/ide/faktor batiniah dan seterusnya, untuk mengetahui sifat alamiah mereka sebagaimana mereka muncul. Apabila tidak terdapat objek yang ‘outstanding’ yang dapat direnungkan ketika berdiam dengan tenang dalam posisi duduk atau berbaring, maka perenungan seyogyanya dilaksanakan dengan selalu menetapkan perhatian terhadap kontak jasmaniah. Oleh karena itu, petunjuk-petunjuk yang diberikan di sini untuk memperlakukan atau menjaga perhatian kepada naik dan turunnya gerakan perut, yang lebih mudah dijelaskan dan mudah untuk direnungkan, sebagai objek utama dan pertama di dalam perenugan.
Namun, terdapat dua jenis kasus perenungan lain yang sudah disebutkan di atas, yaitu (1) perenungan terhadap posisi tubuh duduk dan sentuhan, dan (2) perenungan terhadap impresi kontak di dalam nafas masuk dan keluar, di mana apabila diinginkan, salah satu dapat dipilih sebagai objek utama atau pertama di dalam perenungan.
Di dalam merealisasi kondisi perenungan yang luhur yang memungkinkan untuk merenungkan setiap objek sebagaimana mereka muncul, maka tidak dibutuhkan kembali semuanya untuk kembali ke objek utama dan pertama. Perenungan seyogyanya dilaksanakan pada setiap saat dari melihat, mendengar, mencium bau, mengecap rasa, mengetahui sentuhan jasmani, berpikir, bergagasan dan seterusnya sesuai urutan kemunculan mereka.
Siswa yang telah berkembang, dengan cara perenungan kontinyu ini, konsentrasi (samadhi) dan pandangan bijaksana ke dalam (nana) yang cukup kuat akan secara mandiri merealisasi muncul dan padamnya batin sangat sering di dalam satu detik. Namun seorang siswa yang baru saja mulai melatih perenungan belum dapat merealisasi perubahan yang demikian cepat. Mirip seseorang yang mulai belajar, tak dapat membaca begitu cepat dan baik bila dibandingkan dengan orang yang telah belajar dengan mahir. Namun demikian, seorang siswa seyogyanya berupaya untuk merealisasi muncul dan padamnya faktor batin tidak kurang daripada sekali setiap detik pada tahap permulaan latihannya.
Inilah latihan dasariah latihan Vipassana secara singkat.
6. PERKEMBANGAN KONSENTRASI VIPASSANA (VIPASSANA SAMADHI) DAN PENGETAHUAN BIJAKSANA PANDANGAN TERANG (VIPASSANA NANA)
Bila tidak berupaya kuat untuk melaksanakan perenungan seperti disebutkan di atas, para siswa akan gagal untuk mengamati banyak aktivitas jasmani dan batin pada saat permulaan latihan. Seperti ditunjukkan di dalam bagian Samatha-Kammatthana, terdapat banyak rintanan batin (Nivarana) yang menyebabkan batin mengembara ke arah objek lain. Di dalam hal Samatha-Kammatthana, tidak ada perlakuan khusus untuk merenungkan faktor batin yang mengembara, namun mereka seyogyanya ditekan, dan perenungan dikembalikan kepada objek semula secara berkesinambungan, sementara itu di dalam Vipassana-Kammathana perenungan juga harus dilakukan terhadap faktor batin yang mengembara itu. Setelah perenungan dengan cara ini, maka perenungan seyogyanya dikembalikan kepada objek ‘naik’, ‘turun’ seperti semula. Ini adalah satu dari butir-butir perbedaan antara samatha-bhavana dengan vipassana-bhavana di dalam hal mengatasi rintangan batin (nivarana). Di dalam kasus samatha-bhavana seseorang harus merenungkan secara berkesinambungan terhadap objek semula dari samatha untuk membuat batin terkonsentrasi dengan kuat hanya kepada objek tersebut. Tidak dibutuhkan untuk mengamati fenomena batin dan fisik yang lain. Oleh karena itu tidak diperlukan untuk merenungkan rintangan batin seperti faktor batin yang mengembara yang muncul sewaktu-waktu. Hanya perlu menyingkirkannya sesegera mungkin saat mereka muncul.
Namun demikian, di dalam vipassana-bhavana, semua fenomena batin dan jasmani yang muncul melalui enam pintu indera harus diamati. Oleh karena itu apabila dan ketika rintangan batin seperti misalnya batin merenungkan sesuatu selain objek perenungan semula atau batin menikmati nafsu atau keserakahan dan sebagainya mereka juga harus direnungkan. Apabila mereka tidak direnungkan, maka kemelekatan dan pandangan keliru bahwa mereka kekal, menyenangkan dan atta (aku) akan muncul; oleh karena itu menghindari mereka tidaklah cukup seperti dalam kasus samatha. Objek vipassana akan lengkap hanya apabila seseorang merenungkan terhadap semua fenomena itu sehingga mengetahui dengan jelas sifat alamiahnya dan tidak melekat terhadapnya. Apabila faktor batin yang mengembara ini direnungkan secara berkesinambungan dengan cara ini dalam jangka waktu yang cukup lama, maka hampir tidak akan ada lagi faktor batin yang mengembara. Segera setelah faktor batin mengembara ke objek lain, batin segera memperhatikan dan merenungkannya dan kemudian pengembaraan tersebut tidak berlangsung lebih jauh lagi. Di dalam beberapa kasus, ditemukan bahwa perenungan dilaksanakan tanpa interupsi karena faktor batin dicerap segara saat faktor batin itu mulai muncul. Pada tahapan perenungan ini, ditemukan bahwa batin yang merenungkan dan objeknya selalu datang bersama dan terkonsentrasi. Terkonsentrasinya batin terhadap objeknya ini disebut Vipassana-khanika-samadhi (konsentrasi sementara dari pandangan terang).
Sekarang batin terbebas dari kamacchanda (nafsu indera) dan rintangan batin (nivarana) lainnya dan oleh karena itu sama seperti pada tingkat seperti Upacara-samadhi (konsentrasi berdekatan) yang disebutkan di dalam bagian Samatha-kammatthana. Begitu batin tidak lagi bercampur dengan rintangan batin yang menyebabkan mengembaranya batin, maka hanya ada perenungan murni yang terpusat. Inilah yang disebut Citta-visuddhi (kemurnian batin). Kemudian fenomena fisik seperti naik, turun, menekuk, meregang, dan seterusnya, yang sedang direnungkan, dicerap pada setiap saat perenungan di dalam setiap bentuk yang terpisah tanpa bercampur dengan batin yang merenungkannya atau dengan fenomena materi lain. Fenomena batin, seperti merenungan berpikir, melihat, mendengar, dan seterusnya, juga dicerap pada setiap saat perenungan di dalam keadaan terpisah tanpa dicampuri oleh fenomena materi lain atau fenomena batin lain. Pada setiap saat bernafas, jasmani dan batin yang mengetahui jasmani dicerap secara jelas dan terpisah sebagai dua hal yang berbeda. Pengetahuan bijaksana atas pembedaan fenomena fisik dan batin sebagai dua proses yang terpisah disebut Nama-rupa-pariccheda-nana (pengetahuan bijaksana yang dapat membedakan dengan jelas fenomena batin dan jasmani). Dengan terealisasinya perkembangan pengetahuan bijaksana (nana) selama satu periode waktu yang baik di dalam latihan perenungan yang berkesinambungan, maka akan muncul sebuah pengertian jelas bahwa fenomena 'hanya terdiri dari proses batin dan fisik'. Jasmani tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui, menaikkan, menurunkan, menekuk, memindahkan, dan seterusnya. Namun batin memiliki kemampuan merenungkan, memikirkan, melihat, mendengar, dan sebagainya. Terpisah dari dua faktor ini, tidak terdapat aku atau Atta. Pengertian jelas ini disebut ‘Ditthi-visuddhi’ (Kemurnian Pandangan). Dengan meneruskan perenungan lebih lanjut, dicerap bahwa fenomena materi/fisik dan batin yang muncul di dalam jasmani merupakan efek atau hasil dari sebab-sebab yang bersesuaian dengannya.
Sebagai ilustrasi : Seorang siswa mencerap kenyataan bahwa dikarenakan batin menginginkan untuk membungkuk atau bergerak atau meregang atau mengubah posisi tubuh, maka muncul aksi atau tindakan membungkuk, meregang, bergerak, atau mengubah posisi tubuh; dikarenakan fluktuasi di dalam temperatur/suhu, maka selalu terdapat perubahan di dalam kondisi fisik apakah menjadi dingin atau panas; dan dikarenakan mengkonsumsi makanan maka akan selalu muncul energi fisik yang baru. Lagi, ia mencerap kenyataan bahwa dikarenakan kehadiran/adanya indera penglihatan dan objek penglihatan, indera pendengaran, objek pendengaran, dan seterusnya, maka muncullah kesadaran melihat, mendengar, dan seterusnya, dan dikarenakan kehendak untuk mengarahkan, maka batin mencapai objeknya. Lagi, ia mencerap kenyataan bahwa dikondisikan kehadiran Avijja (kegelapan/kebodohan batin), yang memandang kehidupan sebagai indah dan menyenangkan dan kehadiran Tanha (keinginan rendah), semua jenis perbuatan dipikirkan dan dilakukan, dan dikarenakan kemelekatan terhadap perbuatan-perbuatan tersebut yang telah dilakukan, maka muncullah, di dalam urutan yang sangat cepat dan berkesinambungan, kesadaran-kesadaran (vinnana) baru. Lagi, ia mencerap kenyataan bahwa kematian bukanlah kematian bukanlah sesuatu hanya padamnya kesadaran terakhir di dalam urutan kelangsungan kesadaran; dan lahir adalah munculnya sebuah kesadaran baru di dalam urutan kelangsungan kesadaran ini, tergantung atas formasi/bentukan materi/jasad yang baru. Pengetahuan bijaksana membedakan sebab musabab yang saling tergantung ini disebut “Paccaya-pariggaha-nana” (Pengetahuan bijaksana yang muncul dari pengertian pengalaman penuh akan sebab-musabab fenomena).
Dengan mengerti kenyataan sebab-musabab yang saling tergantung (paticca-samuppada) ia akan datang pada satu kesimpulan bahwa “hidup di masa lampau adalah sebuah formasi materi dan batin, yang tergantung dari sebab musabab yang terkait dan dengan demikian akan ada proses yang mirip pada kehidupan di masa mendatang”. Pandangan murni seperti ini disebut “Kankha-vitarana visuddhi” (Kemurnian pandangan yang muncul setelah mengatasi keraguan).
Sebelum mengembangkan pengetahuan benar kenyataan bahwa "kehidupan terdiri dari batin dan jasmani yang tergantung atas 'sebab-musabab yang terkait' terdapat banyak keraguan skeptis apakah terdapat SAYA di waktu lampau, apakah SAYA berada hanya dalam kehidupan ini atau apakah SAYA akan terus ada di waktu mendatang" dengan memegang pandangan bahwa formasi/perpaduan meteri/jasmani dan batin adalah “ATTA” atau “DIRI”. Sekarang keraguan ini tidak dapat muncul karena mereka telah diatasi.
Dengan melanjutkan perenungan lebih jauh, dicerap bahwa materi/jasmani dan batin muncul dan padam pada setiap saat perenungan. Pengertian bijaksana ini disebut “Anicca-sammassana-Nana” (Pengertian bijaksana akan ketidak-kekalan fenomena alam).
Dengan mencerap kenyataan bahwa fenomena materi/jasmani dan batin secara konstan muncul dan padam, bahwa mereka secara konstan dicengkeram oleh “muncul dan padam” mereka dipandang sebagai bukan menyenangkan juga tidak patut digantungi, namun hanya merupakan dukkha, tidak memuaskan. Pengetahuan bijaksana ini disebut “Dukkha-sammassana-nana” (Pengertian bijaksana terhadap kondisi yang tidak memuaskan).
Dengan mencerap kenyataan bahwa fenomena materi/jasmani dan batin secara alamiah tidak mengikuti perintah keinginannya, namun muncul dan padam sesuai dengan sifat alamiah dan kondisi relatifnya, maka direalisasi bahwa mereka bukan “atta” atau “diri”. Pengertian bijaksana ini disebut “Anatta-sammassana-nana” (Pengertian bijaksana terhadap segala sesuatu yang bukan atta atau bukan diri).
Setelah merefleksikan kenyataan-kenyataan ini selama ia inginkan, siswa itu melanjutkan dengan perenungan tanpa refleksi lebih lanjut. Ia kemudian mencerap dengan sangat jelas permulaan dari setiap objek perenungannya. Ia juga mencerap dengan sangat jelas padamnya setiap objek perenungannya seolah-olah diputus dengan jelas. Pada tahap ini, seringkali muncul pengalaman-pengalaman aneh, yang mengkondisikan terhambatnya latihan vipassana sehingga menjadi kotor (vipassanupakkilesa), seperti :
1. Cahaya yang gemilang (Obhasa)
2. Kegiuran batin (Piti)
3. Sikap batin tenang (Passaddhi)
4. Keyakinan kuat tak terhingga terhadap Tiratana (Adhimokkho ti saddha)
5. Semangat yang sangat tinggi atas pelaksanaan perenungan/meditasi (Paggaha)
6. Kegembiraan yang mencakup ke seluruh tubuh (Sukkha)
7. Pandangan yang tajam terhadap sifat alamiah anicca, dukkha dan anatta tanpa halangan (Nana)
8. Kemampuan di dalam melaksanakan perhatian murni tanpa kehilangan objek (Upatthana)
9. Keseimbangan batin (Upekkha)
10. Melekat terhadap fenomena dhamma butir 1 – 9 (Nikanti)
Oleh karena itu, siswa tersebut dapat terbuai sehingga ia tidak dapat lagi menjaga mulutnya, umumnya ia menceritakan pengalamannya. Ia sering kali menganggap bahwa ia telah merealisasi pencerahan sempurna. Inilah indikasi awal atau tahap permulaan dari 'Udayabbaya-nana' (pengetahuan bijaksana atas muncul dan padamnya fenomena) yang lemah. Namun demikian sepuluh fenomena ini adalah jalan yang salah (Amagga).
Kemudian siswa itu memutuskan pengalaman melihat bayangan batin dan perasaan-perasaan lainnya bukanlah perealisasian pencerahan sempurna yang sesungguhnya, dan bahwa metode perenungan yang tepat untuk merealisasi pencerahan sempurna adalah hanya dengan mengobservasi secara konstan terhadap semua fenomena yang muncul. Ia tiba pada keputusannya ini sesuai dengan apa yang telah dipelajarinya dari pengalaman atau sesuai dengan petunjuk gurunya.
Keputusan murni ini adalah indikasi “Maggamagga-nana-dassana-visuddhi” (kemurnian pandangan benar terhadap jalan dan bukan jalan).
Setelah tiba pada keputusan ini dan diteruskan dengan melanjutkan perenungannya pengalaman-pengalaman melihat bayangan batin dan perasaan-perasaan lainnya secara bertahap akan berkurang dan pencerapan objek menjadi lebih jelas dan lebih jelas lagi. Muncul dan padamnya fenomena materi pada setiap gerakan di dalam hal satu gerakan membungkuk atau meregangkan tangan atau kaki atau di dalam hal satu langkah, setiap fregmen (bagian) dari satu gerakan akan dengan sangat jelas diamati. Inilah kematangan atau tahap akhir dari “Udayabbaya-Nana”. Perenungan itu mengalir tanpa hambatan seolah terbebas dari “Upakkilesa” (ketidakmurnian).
Setelah pengertian bijaksana (Nana) ini diperoleh cukup kuat, pencerapan terhadap objek-objek dijumpai lebih cepat. Akhir atau padamnya objek lebih jelas dicerap daripada permulaan “Upacara” (pendekatan) dan “Anuloma” (adaptasi). Ini adalah “nana” atau pengertian bijaksana yang tepat bagi 8 vipassana nana yang mendahuluinya dan “Magga-nana” (Pengertian bijaksana atas Jalan) yang mengikutinya.
Pandangan terang mulai dari “Udayabbaya-Nana” yang masak sampai dengan “Anuloma-nana” secara kolektif dikenal sebagai “Patipada-nana-dassana-visuddhi” (Kemurnian dengan pengertian bijaksana dan pandangan terang yang muncul akibat telah mengikuti latihan yang benar).
Setelah Anuloma Nana, muncullah “Gotrabhu-Nana” (Pengertian bijaksana memenangkan kesucian) dimana Nibbana adalah objeknya, dimana duka cita dan ketidakpuasan yang berhubungan dengan fenomena fisik dan batin padam secara total. Ini adalah pengertian bijaksana yang memotong kekerabatan “Puthujjana” (makhluk awam duniawi) dan memasuki kekerabatan “Ariya” (makhluk suci).
Kemudian muncul “Sotapati Magga Nana dan Phala Nana” (Pengetahuan bijaksana dari Jalan Suci pemenang arus dan buahnya) yang merealisasi Nibbana. Magga Nana disebut “Nana-dassana-visuddhi” (Kemurnian pandangan).
Saat kemunculan Magga dan Phala Nana tidak berjeda waktu sedetik pun. Kemurnian segera disusul kemunculan refleksi atas pengalaman khusus “Magga, Phala dan Nibbana”. Ini adalah “Paccavekkhana-nana” (Pengertian bijaksana dari retropeksi/perenungan mendalam).
Seseorang yang telah merealisasi Paccavekkhana-nana sesuai urutan itu disebut sebagai makhluk “Sotapanna” (Pemenang arus).
Khas Anicca, Dukkha, Anatta, dengan kejelasan khusus yaitu dukkha. Ini adalah “Patisankha-nana” (Pengertian bijaksana yang muncul dari perenungan yang lanjut).
Ketika “Patisankha-nana” ini masak, perenungan berlanjut secara otomatis mirip sebuah jam tanpa upaya khusus bagi pencerapan dan pengertian bijaksana. Dilanjutkan dengan perenungan atas objek-objek dengan keseimbangan batin – hanya memperhatikan objek tanpa terlarut di dalam kesenangan maupun ketidaksenangan. Perenungan ini begitu damai dan tanpa upaya khusus saat itu dan dilanjutkan dengan mengetahui objek-objek begitu otomatis dan dapat berlangsung lebih dari satu jam, dua jam atau tiga jam; dan bahkan dapat berakhir dalam jangka waktu yang begitu lama, tanpa lelah atau bosan. Pencerapan yang muncul dalam jangka waktu lama ini merealisasi sifat alamiah objek-objek perenungan secara otomatis dan tanpa terlibat di dalam kesenangan dan ketidaksenangan, disebut “Sankharupekkha-nana” (Pengetahuan bijaksana yang muncul dari keseimbangan batin terhadap sankhara).
Keluar dari perenungan ini yang dilanjutkan secara otomatis dan dengan momentumnya merealisasi objek, muncullah pengertian bijaksana yang khusus sangat cepat dan aktif. Pengertian bijaksana yang muncul langsung menuju sebuah jalan mulia ini yang juga dikenal sebagai “Vuitthana” (elevasi) adalah “Vutthana-gamini-vipassana-nana” (Pengetahuan bijaksana menuju elevasi yang lebih luhur).
Pengertian bijaksana ini muncul merealisasi bahwa fenomena fisik dan batin yang muncul melalui enam pintu indera pada saat itu tidak kekal, tidak memuaskan, dan bukan diri/aku. Pengertian bijaksana terakhir adalah “Anuloma-nana” (Pengertian bijaksana atas adaptasi) yang terdiri dari tiga “javana” (saat-saat dorongan) disebut “Parikamma” (persiapan), seyogyanya melaksanakan latihan meditasi sesuai dengan petunjuk yang diberikan di atas.
Semoga semua makhluk dapat melaksanakan latihan Meditasi dan merealisasi Nibbana.
KETERANGAN BEBERAPA ISTILAH PENTING
Ariya-sacca (kebenaran mulia), terdapat 4 jenis :
a. Dukkha sacca = Kebenaran suci tentang 'penderitaan'
b. Samudaya sacca = Kebenaran suci tentang penyebab 'penderitaan'
c. Nirodha sacca = kebenaran suci tentang padamnya 'penderitaan'
d. Magga sacca = Kebenaran suci tentang jalan untuk terbebas dari 'penderitaan'.
Bhavana
a. Samatha-bhavana
Pengembangan ketenangan batin. Secara sementara kekotoran batin tertentu mengendap (lihat nivarana). Objek samatha-bhavana ini merupakan pannatti (konsepsi batin).
b. Vipassana – bhavana
Pengembangan kebijaksanaan melalui pengamatan dan perhatian murni terhadap fenomena batin dan jasmani yang dicengkeram oleh sifat universal (lihat Tilakkhana). Hasil akhirnya, kekotoran batin terbasmi hingga ke akarnya. Objek vipassana-bhavana ini merupakan paramattha (hakekatnya sesungguhnya segala sesuatu yang dialami).
Dukkha
a. Di dalam sifat alamiah universal (Tilakkhana), mengandung pengertian = tidak memuaskan. Dukkha jenis ini meliputi makhluk hidup suci atau tidak suci dan juga bukan makhluk hidup.
b. Di dalam kebenaran suci tentang dukkha (Dukkha sacca), mengandung pengertian = penderitaan biasa (dukkha-dukkha), penderitaan yang inheren karena perubahan (viparinama dukkha), penderitaan yang inheren bagi mahluk yang merupakan perpaduan (sankhara dukkha). Dukkha jenis ini hanya berkenaan dengan makhluk hidup yang belum suci.
Ekaggata
a. Sebagai faktor batin bersifat netral (bukan baik juga bukan tidak baik), mengandung pengertian faktor batin yang berfungsi memusatkan batin terhadap objek yang diamati.
b. Di dalam faktor jhana, mengandung pengertian sebagai faktor batin yang berfungsi menekan kamachanda-nivarana (hasrat nafsu indera).
Jhana
Kondisi batin yang melekat kuat terhadap objek (arammana) yang dialami. Objek yang dialami oleh batin selama di dalam kondisi jhana merupakan objek yang bukan sesungguhnya atau bersifat konsepsi batin (pannatti).

Khanda
Mengandung pengertian sebagai kelompok perpaduan; umum pula dijumpai dalam istilah upadanakkhandha yang berarti kelompok perpaduan yang berpotensi menimbulkan kemelekatan. Khandha terdiri dari 5 lima kelompok yaitu :
a. Vedanakkhandha = kelompok perpaduan perasaan, yaitu perasaan yang menyenangkan, perasaan tidak menyenangkan dan perasaan netral (bukan menyenangkan juga bukan tidak menyenangkan).
b. Sannakkhandha = kelompok perpaduan pencerapan. Fungsinya menandai objek, mencerap objek yang dialami, mengkondisikan pengenalan terhadap objek.
Apabila makhluk Anagami melaksanakan latihan Vipassana dengan sebuah pandangan untuk merealisasi “Anagami Phala-sampatti”, maka ia akan merealisasi tingkatan tersebut. Apabila ia melaksanakan latihan bagi tingkatan yang lebih luhur, maka Vipasanna-nana akan dikembangkan di dalam urutan yang sama seperti sebelumnya dan di dalam kematangan yang penuh ia akan merealisasi Nibbana dengan pandangan terang “Arahatta Magga dan Phala” (jalan kesucian Arahat dan buahnya) dan menjadi makhluk suci Arahat. Makhluk Arahat telah terbebas dari lima belenggu (samyojana) yang masih tersisa, yaitu :
1. Rupa-raga (hasrat untuk keberadaan bermateri halus)
2. Arupa-raga (hasrat untuk keberadaan tanpa materi)
3. Mana (kesombongan)
4. Uddhacca (kegelisahan batin)
5. Avijja (kegelapan atau kebodohan batin) secara bersama dengan semua “kilesa” (kekotoran batin)
Pada akhir masa kehidupannya saat ini ia akan Parinibbana, dan tidak akan tumimbal lahir lagi, ia secara mutlak terbebas dari duka ketuaan, kesakitan, kematian, dan seterusnya.
Dengan tetap berpandangan terhadap kebebasan ini bahwa pertanyaan pada permulaan artikel ini:
“Apakah tujuan utama melaksanakan latihan meditasi” telah diberikan jawabannya sebagai berikut:
“Latihan meditasi dilaksanakan untuk tujuan utama merealisasi Nibbana dan terbebas dari duka cita kehidupan di dalam bentuk ketuaan, kesakitan, kematian, dan seterusnya”.
Oleh karena itu mereka semua yang dengan tekun berharap untuk merealisasi Nibbana dan merealisasi kebebasan mutlak atau kemunculannya. Objek-objek perenungan nampak padam. Bentuk dan ukuran tangan, kaki, kepala, jasmani dan seterusnya tidak dicerap lagi. Hanya kepadaman jasmani dan batin yang dicerap pada setiap saat perenungan. Bahkan, perenungan batin dicerap padam bersama objek perenungannya setiap saat. Pengertian bijaksana atas proses kepadaman ini di dalam pasangan batin dan objeknya adalah “Bhanga-nana” (pengetahuan bijaksana akan proses padamnya fenomena).
Dengan terus-menerus mencerap proses yang selalu padam di dalam tiap pasang batin dan objeknya maka akan tiba kemunculan perealisasian bahwa setiap fenomena dapat menimbulkan ketakutan. Ini adalah “Bhaya-nana” (Pengetahuan bijaksana atas kondisi-kondisi yang menakutkan).
Kemudian akan disusul dengan munculnya pengertian bijaksana merealisasi ketidaksempurnaan fenomena batin dan materi. Ini adalah “Adinava-nana” (Pengetahuan bijaksana atas kondisi-kondisi yang tidak memuaskan).
Kemudian akan disusul dengan pengertian bijaksana merealisasi sifat alamiah fenomena yang tidak menarik dan membosankan. Ini adalah “Nibbida-nana” (Pengetahuan bijaksana atas kondisi-kondisi yang membosankan).
Apabila direalisasi bahwa sungguh baik apabila tidak terdapat fenomena fisik maupun batin yang secara konstan datang/muncul dan padam di dalam cara demikian, muncullah pengertian bijaksana, mencari kebebasan dari ketidakpuasan terhadap fenomena-fenomena ini. Ini adalah “Muccitu-kamyata-nana” (Pengetahuan bijaksana dari niat untuk terbebas).
Dengan lebih lanjut merenungkan disertai keinginan kuat untuk terbebas, muncullah sebuah persepsi kuat atas sifat alamiah
Sotapanna terbebas dari tiga belenggu (samyojana) sebagai berikut :
1. Pandangan keliru bahwa fenomena kelompok perpaduan fisik dan batin adalah ego, atau diri. (Sakkaya-ditthi – kepercayaan bahwa fenomena fisik dan batin adalah diri).
2. Keraguan atas Buddha, Dhamma dan Sangha serta disiplin (Vicikiccha).
3. Kepercayaan bahwa metode di luar pengembangan jalan mulia berunsur delapan (Ariya Magga) dan di luar pengembangan pandangan terang di dalam empat kebenaran mulia (Ariya Sacca) dapat membawa kebahagiaan sejati (Silabbata-paramasa – kepercayaan hanya terhadap ritual dan upacara membawa ke kesucian).
Lebih lanjut, bahwa observasinya terhadap pelaksanaan lima kaidah kemoralan menjadi murni dan mutlak. Bagi alasan inilah, Sotapanna tidak mungkin tumimbal lahir ke alam yang tidak menyenangkan, yang rendah (Apaya loka). Ia akan menjalani kehidupan bahagia di dunia manusia dan para dewa selama tujuh kali tumimbal lahir maksimum, dan selama periode ini ia akan merealisasi tingkat kesucian Arahat.
Apabila Sotapanna melaksanakan latihan Vipassana dengan sebuah niat untuk merealisasi “Phala-samapatti” (perealisasian buah), ia kemudian akan mencapai keadaan itu dan menetap dengan objek Nibbana untuk jangka waktu 5 atau 6 menit, atau setengah jam, atau satu jam. Apabila ia cukup baik terlatih di dalam latihan perealisasian “Phala-samapatti” maka ia akan merealisasinya dengan sangat cepat dan menetap di dalam objeknya itu selama sehari penuh atau bahkan semalaman atau lebih lama lagi. Apabila ia melaksanakan perenungan terhadap “Upadanakkhanda” di dalam cara yang sama seperti yang telah disebutkan di atas dengan sebuah pandangan untuk merealisasi tingkat “Magga dan Phala” yang lebih tinggi, maka vipassana-nana akan dikembangkan dari tahapan Udayabbaya-nana dalam urutan yang sama seperti sebelumnya dan dalam kematangan penuh ia akan merealisasi Nibbana dengan pandangan terang dari “Sakadagami-Magga dan Phala” (Jalan makhluk suci yang paling banyak akan kembali lagi satu kali ke alam nafsu dan buahnya) dan menjadi makhluk Sakadagami (yang kembali satu kali lagi). Ia kemudian terbebas dari nafsu indera (kama-raga) yang kasar dan keinginan buruk (patigha) yang kasar. Ia akan menuju kehidupan bahagia di dalam alam manusia dan dewa maksimum selama dua kali tumimbal lahir dan akan merealisasi tingkat kesucian Arahat selama periode tersebut. Apabila makhluk Sakadagami melaksanakan latihan Vipassana dengan sebuah pandangan untuk merealisasi Sakadagami Phala-Samapatti maka ia akan merealisasi tingkat tersebut. Apabila ia melaksanakan latihan dengan sebuah pandangan merealisasi tingkat “Magga dan Phala” yang lebih luhur, Vipassana-nana akan dikembangkan di dalam urutan yang sama seperti sebelumnya dan di dalam kematangan penuh ia akan merealisasi Nibbana dengan pandangan terang dari “Anagami Magga dan Phala” (Jalan makhluk yang tidak akan kembali lagi ke alam yang diliputi nafsu dan buahnya) dan menjadi makhluk Anagami (Makhluk yang tidak pernah kembali lagi, ke alam nafsu indera). Ia kemudian secara total terbebas dari dua belenggu/samyojana lebih banyak, yaitu “kama-raga” (nafsu indera) dan “Patigha” (keinginan buruk). Ia tidak akan tumimbal lahir lagi di “Kama-loka” (alam yang diliputi nafsu indera) namun akan tumimbal lahir di “Rupa-loka” (alam dengan materi halus) atau “Arupa-loka”/alam tanpa materi (bila ia saat itu makhluk Arupa Brahma) dan ia nantinya akan menjadi Arahat.
c. Sankharakkhandha = kelompok perpaduan faktor-faktor/penyerta batin yang baik, yang tidak baik dan yang netral (bukan baik juga bukan tidak baik).
d. Vinnanakkkandha = kelompok perpaduan kesadaran, fungsinya menyadari objek yang dialami.
e. Rupakkhandha = kelompok perpaduan materi/fisik/jasmani, yang secara umum terdiri dari unsur materi padatan, unsur materi cairan, unsur materi panas, unsur materi gerak.
Lokiya dhamma
Dhamma yang bersifat duniawi. Dalam hal ini meliputi batin para makhluk rendah, makhluk manusia, makhluk dewa maupun brahma/makhluk awam (puthujjhana puggala) yang belum hancur belenggu/kekotoran batinnya.
Lokuttara Dhamma
Dhamma yang mengatasi duniawi. Dalam hal ini meliputi batin para makhluk suci (Ariya puggala) pada saat hancurnya tiga atau lebih belenggu/ kekotoran batinnya (magga, phala) dan Nibbana.
Nivarana

Rintangan batin, terdiri dari 5, yaitu :
a. Kamachanda = hasrat di dalam nafsu indera.
b. Byapada = niat jahat.
c. Thina-middha = sikap malas dan lamban
d. Uddhacca-kukkucca = sikap batin gelisah/tak dapat memegang objek dengan baik dan khawatir atas perbuatan baik yang belum dilakukan atau perbuatan jahat yang telah dilakukan.
e. Vicikiccha = sikap batin ragu secara skeptis.
Paticca-samuppada
Sebab-musabab yang saling tergantung, formulasi umumnya terdiri dari empat pernyataan, yaitu :
a. Adanya ini mengkondisikan adanya itu.
b. Timbulnya ini mengkondisikan timbulnya itu.
c. Tidak adanya ini mengkondisikan tidak adanya itu.
d. Padamnya ini mengkondisikan padamnya itu.
Piti
a. Sebagai faktor/penyerta batin berarti kegiuran batin terhadap objek yang dialami; dan bersifat netral (bukan baik juga bukan tidak baik).
b. Sebagai faktor jhana merupakan faktor batin yang fungsinya menekan byapada-nivarana (niat jahat).
Samyojana
Adalah belenggu batin, ada 10 jenis, yaitu :
a. Sakkaya-ditthi = kepercayaan atau pandangan keliru terhadap lima kelompok perpaduan (khandha 5) sebagai inti/aku/diri.
b. Vicikiccha = keraguan skeptis.
c. Silabbata-paramasa = kepercayaan bahwa hanya dengan ritual keagamaan dapat merealisasi kesucian.
d. Kamaraga = nafsu indera
e. Patigha = niat jahat/dendam.
f. Ruparaga = hasrat untuk memiliki fisik/nafsu untuk tumimbal lahir di alam bermateri halus.
g. Aruparaga = nafsu untuk tidak memiliki fisik/nafsu untuk tumimbal lahir di alam tanpa materi.
h. Mana = kesombongan
i. Uddhacca = kegelisahan batin.
j. Avijja = kegelapan batin, tak dapat membedakan kebaikan dari keburukan, tak mengetahui kebenaran suci, tak mengetahui hakekat sesungguhnya segala sesuatu.
Sankhara
a. Di dalam sifat alamiah yang berlaku universal (Tilakkhana), mengandung pengertian = perpaduan.
b. Di dalam lima kelompok perpaduan/yang berpadu (Khandha 5), mengandung pengertian = faktor/penyerta batin (cetasika) yang baik, netral dan buruk, di luar pencerapan (sanna) dan perasaan (vedana).
c. Di dalam fenomena sebab-musabab yang saling tergantung (Paticca-samupada), baik sebagai sebab (paccaya) maupun sebagai akibat (pacayuppana) mengandung pengertian = kehendak (cetana) lampau dan melandasi perbuatan-perbuatan lampau, yang baik dan yang tidak baik.
Sukha
a. Di dalam khandha 5, dikategorikan sebagi faktor batin perasaan (sukkha vedana) yang berfungsi merasakan objek yang menyenangkan yang dialmi.
b. Di dalam faktor jhana, merupakan faktor batin perasaan yang berfungsi menekan uddhacca-kukkucca-nivarana (kegelisahan – kekhawatiran)
Tilakkhana
Tiga sifat alamiah yang berlaku universal, yaitu :
a. Sabbe sankhara anicca = semua fenomena perpaduan bersifat tidak kekal.
b. Sabbe sankhara dukkha = semua fenomena perpaduan bersifat tidak memuaskan.
c. Sabbe dhamma anatta = semua dhamma dalam hakekat sesungguhnya adalah tanpa kepemilikan, tanpa inti, tanpa diri.
Upekkha
a. Di dalam hal perasaan (upekkha vedana), mengandung pengertian perasaan netral, bukan menyenangkan juga bukan tidak menyenangkan.
b. Di dalam hal sikap batin luhur tanpa batas (brahma-vihara), mengandung pengertian sikap batin seimbang terhadap semua fenomena yang dicengkeram Tilakkhana.
Vicara
a. Sebagai faktor/penyerta batin artinya perenungan penopang, fungsinya membuat batin menambat terhadap objek yang dialami.
b. Sebagai faktor jhana (jhananga) merupakan faktor penyerta batin yang fungsinya menekan Vicikiccha-nivarana (keraguan skeptis).
Vitakka
a. Sebagai faktor/penyerta batin artinya perenungan permulaaan, fungsinya membuat batin mengarah kepada objek yang dialami.
b. Sebagai faktor jhana (jhananga) merupakan faktor/penyerta batin yang fungsinya menekan Thina-middha-nivarana (sikap batin malas dan lamban).
Semoga sedikit bahasan dapat bermanfaat bagi rekan2 yang ingin memahami Buddha Dhamma lebih dalam. Carilah reverensi2 lain untuk menambah pengetahuan serta wawasan agama Buddha.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia…

28 Agustus 2009

Cara Setting Blog di Blogspot

Bagi tmn2 blogger baru yg pengen nambah pngetahuan ttg cara setting blog di blogspot, silahkan ikuti panduan di bawah ini. meski wibbie jg blm tau banyak ttg blogspot tp wibbie cba bagi2 pngalaman ma tmn2 smua.
1. Silahkan km Login ke blogger.com
2. Pada tampilan Dashboard Klik Setting
3. Lalu Klik tab Basic/Dasar. Disitu ada Beberapa form yang harus di isi diantaranya:
*Title/Judul ⇒ isi dengan judul blog km.

* Uraian/Description ⇒ isi dengan deskripsi blog km. Contoh : Panduan Belajar Blog | Belajar Agama Buddha | Tuntunan Meditasi | Sekitar Kampus STAB Kertarajasa

* Add your blog to our listings/Tambahkan blog km ke daftar kami ? ⇒ anda pilih yes ini berfungsi agar setiap postingan kita selalu masuk di daftar Blogger.com.

* Let search engines find your blog/Biarkan mesin pencari menemukan blog km ? ⇒ pilih yes

* Show Quick Editing on your Blog/Tampilkan Editing Cepat di Blog km? ⇒ pilih Yes

* Show Email Post links/Tampilkan Link Posting Email ? ⇒ Sebaiknya pilih yes, tapi pilih no juga tidak masalah

* Adult Content/Konten Dewasa? ⇒ Pilih no. Kalau pilih yes berarti blog km di anggap blog untuk dewasa (semacam blog porno)

* Show Compose Mode for all your blog/Tampilkan Mode Compose untuk semua blog km? ⇒ pilih Yes

* Enable transliteration/Aktifkan transliterasi ? ⇒ pilih disable, jika pilih Enable, berarti km ingin ada button untuk mengubah karakter biasa ke huruf hindi/India

* Lalu Klik tombol Save Settings/Simpan Pengaturan.

4. Klik tab Publishing/Publikasi untuk mengatur menu Publikasi :

* Isi Your Domain/Alamat Blog km. Biasanya alamat yang tercantum disitu adalah langsung alamat blog km, jadi sebaiknya jangan di rubah aja.
* Isi Word Verification

* lalu Klik tombol Save Settings/Simpan pengaturan.

5. Klik tab Formatting/Format untuk pengaturan menu format :

* Show/Tampilkan ⇒ pilihlah jumlah/angka posting yang ingin km tampilkan. Misal : Show 7 posts on the main page, berarti posting yang akan tampil di halaman blog km adalah sebanyak tujuh posting. Pilih posting (jangan hari) pada menu pulldown-nya.

* Date Header Format/Format Header Tanggal ⇒ pilih model tanggal/bulan yang km sukai, Format tanggal/bulan ini akan selalu muncul diatas setiap postingan kita.

* Archive Index Date Format/Format Tanggal Index Arsip ⇒ pilih model untuk pengarsipan yang km sukai. Misal : June 2009

* Timestamp Format/Format Timestamp ⇒ Pilih bentuk waktu yang km sukai. Misal : 11:54 AM

* Time Zone/Zona Waktu ⇒ Pilih zona waktu yang sesuai. Contoh untuk WIB : [GMT+07.00]Jakarta.

* Language/Bahasa ⇒ Pilih bahasa yang di inginkan.

* Show Title Field/Tampilkan Field judul ⇒ Pilih yes atau tidakpun tidak apa-apa

* Show Link Field/Tampilkan kolom link ⇒ pilih yes, tapi seandainya pilih tidak juga tidak apa-apa.

* Enable Float Alignment/Aktifkan perataan float ⇒ pilih yes, tapi seandainya mau pilih tidak juga tidak apa-apa
* Post Template/Template Posting. Kolom ini diisi bila km menggunakan fasilitas Read More (Template non klasik).

* Jangan lupa Save Settings

6. Klik tab Comments/Komentar Untuk mengatur menu komentar :

* Comments/Komentar ⇒ pilih Show/tampilkan, ini agar artikel km dapat di komentari oleh pengunjung
* Who can Comment ?/Siapa yang Bisa Berkomentar ? ⇒ Pilih Anyone/Siapa pun - termasuk Pengguna Anonim. Ini di maksudkan agar setiap orang bisa berkomentar tidak terbatas kepada anggota blogspot saja.
* Comments Default for Posts/Default Komentar untuk Posting ⇒ pilih New Posts Have Comments/Posting baru memiliki komentar.
* Back links/Link balik ⇒ Pilih Show/tampilkan. Ini dimaksudkan agar kita mengetahui apabila ada yang memasang link pada artikel kita.
* Backlinks Default for Posts/Default Link Balik untuk Posting ⇒ pilih New Posts Have Backlinks/Posting baru Memiliki Link Balik.
* Comments Timestamp Format/Format Timestamp Komentar ⇒ km bisa memilih jenis format waktu dalam komentar, bisa dengan singkat seperti Contoh: 8.00 PM, atau June 11, 2009 12:46 PM
* Comment Form Message/Form Kolom Komentar, dalam kolom ini anda bisa isi komentar apa saja untuk memandu pengunjung yang akan memberikan komentarnya.
* Comment Moderation/Aktifkan moderasi komentar ? ⇒ pilih Never (sebaiknya).
* Show word verification for comments ?/Tampilkan verifikasi kata untuk komentar? ⇒ pilih Yes. ini di maksudkan agar terhindar dari software robot dengan tujuan melakukan spam.
* Show Profile images on comments ?/Tampilkan gambar profil dalam komentar? ⇒ pilih yes. Ini dimaksudkan supaya gambar komentator yg punya id blogger, dapat ditampilkan fotonya.
* Comment Notification Email/Email Pemberitahuan Komentar ⇒ isi dengan alamat email anda, ini di maksudkan agar setiap ada yang berkomentar pada artikel km, km dapat kiriman email dari blogger.com sebagai pemberitahuan.
* Klik tombol Save Settings/Simpan Pengaturan.

7. Klik tab Archiving/Arsipkan Untuk mengatur menu Arsip :

* Archive Frequency/Frekuensi Arsip ⇒ pilih Monthly/Bulanan.

* Enable Post Pages ?/Aktifkan Halaman Posting? ⇒ pilih yes.

* Klik tombol Save Settings/Simpan Pengaturan.

8. Klik tab Site Feed/Feed Situs untuk mengatur menu feed :

* Allow Blog Feeds/Izinkan Feed Blog ⇒ pilih Full/Penuh.

* Post Feed Redirect URL/Posting URL untuk Pengubahan Arah Feed ⇒ di isi dengan alamat feed anda di feedburner, jika belum punya, di kosongkan saja.

* Post Feed Footer/Footer Feed Posting ⇒ Silahkan di isi dengan kode iklan yang anda punya, misal kode iklan dari Google adsense dsb, namun jika tidak punya, silahkan kosongkan saja.

* Jangan lupa Klik tombol Save Settings/Simpan Perubahan.

Demikian-lah sekilas settingan dasar yang harus km lakukan, mudah-mudahan informasi ini dapat berguna bwt tmn2 smua kita smua....I love u full.....

Thank's .

24 Agustus 2009

Sang Buddha dan Kisah Para Murid Beliau
Berisikan Riwayat Sang Buddha serta berbagai cerita Buddhis yang menarik dan menyentuh perasaan sebagai bahan pendidikan moral etika untuk diri sendiri maupun generasi muda Buddhis.

Sejarah Singkat STAB KERTARAJASA

Sejarah Singkat Sekolah Tinggi Agama Buddha Kertarajasa

ImageSekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Kertarajasa Batu dulu berawal dengan nama STAB Dhammadipa didirikan pada tahun 2000 oleh Yayasan Dhammadipa Arama dengan Ijin Operasional dari Departemen Agama Republik Indonesia Jakarta. Setelah 1 (satu) tahun perkuliahan berjalan tepatnya pada tanggal 7 oktober 2002 Departemen Agama Republik Indonesia menetapkan Sekolah Tinggi Agama Buddha Kertarajasa dengan Status Terdaftar dengan Nomor : DJ.V/63/SK/2002 tertanggal 7 oktober 2002.

Para pengurus dan Dosen yang terdiri dari rohaniawan, pejabat Depatemen Agama Republik Indonesia dan para profesional memiliki tekad untuk membimbing, membina, dan mendidik para mahasiswa/i agar menjadi umat Buddha yang taqwa, mampu bersaing dalam menyongsong era globalisasi dan perdagangan bebas.

Hingga tahun 2005 telah diterima 269 orang mahasiswa/i dari berbagai daerah di tanah air, baik sebagai mahasiswa baru maupun pindahan. Untuk menjawab tantangan masa depan dan menampung animo masyarakat, maka STAB Kertarajasa pada tahun 2008 ini bertekad untuk membuka Program Pasca Sarjana Magister Agama Buddha jurusan Pendidikan.

TUNTUNAN MEDITASI CINTA KASIH (METTA BHAVANA)
Ajahn Chah





Meditasi ini dapat dilakukan bersama-sama dalam suatu kelompok dengan salah seorang di antaranya membacakan instruksi dengan perlahan dan suara yang halus. Tanda titik titik pada akhir paragraf menunjukkan suatu masa hening sebelum masuk ke instruksi berikutnya. Disarankan meditasi ini dilakukan selama kurang lebih satu setengah jam.

Meditasi ini adalah meditasi cinta-kasih. Meditasi dilakukan dengan menggunakan teknik visualisasi yang sederhana dengan menggunakan pikiran kita yang biasa kita gunakan untuk berpikir. Sebagai contoh, jika saya menyarankan untuk membayangkan sebuah bunga, kita akan dapat melakukannya dengan mudah. Tidak peduli apakah bunga itu adalah bunga mawar atau bunga teratai, atau apapun warnanya itu, atau bahkan bagaimanapun jelasnya objek itu tergambar di dalam batin anda –- sesuatu yang berproses dengan lancar itu sudah cukup.

Sekarang duduklah dengan tegak, perhatikan jika ada ketegangan pada wajah anda. Kendorkan ketegangan di sekitar mata, sekitar rahang dan mulut. Arahkan perhatian anda pada daerah sekitar hati/dada –- suatu daerah di tengah-tengah dada, di sekitar tulang dada dan sekitar tulang rusuk. Tarik napas dan rasakan napas. Rasakan seolah-olah anda bisa menarik napas dan mengeluarkan napas dari daerah di tengah-tengah dada anda itu. Pada saat anda menarik napas, katakan kepada diri anda: SEMOGA SAYA DALAM KONDISI YANG BAIK –-mengharapkan diri sendiri sehat sejahtera, biarkan muncul dengan alami suatu perasaan simpati yang halus terhadap diri anda. Biarkan masa lalu terjadi, lepaskan ia; dan pada saat ini, pusatkan saja perhatian anda pada napas, pada hati/dada, serta pada pikiran simpati yang muncul, dengan alami dan seimbang. Tarik napas dan katakan pada diri anda sendiri: SEMOGA ORANG LAIN JUGA DALAM KONDISI YANG BAIK. Secara alami kembangkan irama ini –- menarik napas: SEMOGA SAYA DALAM KONDISI YANG BAIK, mengeluarkan napas: SEMOGA ORANG LAIN DALAM KONDISI YANG BAIK. … Jika pikiran berkelana, maka dengan halus, wajar dan penuh kesabaran, tarik kembali perhatian anda. Ada suatu pergerakan yang lembut, kembali pada daerah sekitar dada, pada napas, pada perasaan simpati -– tarik napas: SEMOGA SAYA DALAM KONDISI YANG BAIK, keluarkan napas: SEMOGA ORANG LAIN DALAM KONDISI YANG BAIK. ……

Apa yang kita lakukan adalah mencoba menyelaraskan diri kita dengan energi cinta-kasih dan kasih-sayang di alam semesta. Membuka diri dan menyerap energi tersebut, membiarkannya masuk ke dalam diri kita, menyegarkan diri kita, melalui napas dan kekuatan pikiran sebagai media aliran energi tersebut. Tarik napas: SEMOGA SAYA DALAM KONDISI YANG BAIK. Kemudian salurkan energi itu kepada setiap orang: SEMOGA ORANG LAIN DALAM KONDISI YANG BAIK. … Pertahankan ketenangan dan kehalusan napas anda, biarkan energi napas menyegarkan diri kita; tarik napas ke daerah sekitar dada, keluarkan napas dari daerah sekitar dada. ……

Membuka diri terhadap energi cinta kasih dari alam semesta. Tarik napas, biarkan diri anda menjadi lebih peka dan lebih banyak menyerap energi tersebut. Keluarkan napas, hati anda menjadi lebih terbuka dan lebih luas, pancarkan keluar: SEMOGA ORANG LAIN SELALU DALAM KONDISI YANG BAIK. … Dan pada saat kita telah siap… tarik napas yang dalam dan halus ke daerah sekitar dada, biarkan perasaan cinta kasih dan energi napas memenuhi diri kita. Tahan sebentar dengan alami, dengan nyaman. Biarkan perasaan cinta kasih masuk semakin dalam dan menguatkan perasaan nyaman tersebut. Biarkan ia memenuhi seluruh tubuh kita, meresap ke dalam tubuh. Keluarkan napas, dengan perlahan dan halus, dari daerah sekitar dada: SEMOGA ORANG LAIN DALAM KONDISI YANG BAIK. Lakukan itu beberapa kali –- napas masuk yang dalam, tahan sebentar dan keluarkan. …

Sekarang, kita mulai dengan visualisasi dan bekerja lebih banyak pada napas-keluar. Terus menjaga napas masuk anda seperti sebelumnya, napas masuk ke dalam daerah sekitar dada dengan pikiran: SEMOGA SAYA DALAM KONDISI YANG BAIK. Untuk napas keluar, mula-mula bayangkan dalam pikiran anda sosok ayah dan ibu kita – tidak peduli di mana pun mereka berada, dekat atau jauh, masih hidup atau pun sudah meninggal. Bayangkan kedua-duanya sekaligus atau satu per satu -- tergantung mana yang paling mudah dilakukan. Bayangkan mereka berada beberapa meter di depan kita, dan pada saat kita mengeluarkan napas, arahkan pikiran-pikiran simpati dan penerimaan kita terhadap mereka. Jadi, tarik napas dengan pikiran: SEMOGA SAYA DALAM KONDISI YANG BAIK...dan pada saat mengeluarkan napas, dengan membayangkan sosok ayah dan ibu kita: SEMOGA MEREKA DALAM KONDISI YANG BAIK. … …

Berikutnya: bawa ke dalam pikiran kita, guru-guru spiritual kita, yakni mereka yang telah menolong kita, membimbing kita, mendorong kita dan memberikan petunjuk kepada kita dalam hidup kita. Bersama napas-keluar, dengan sikap perasaan berterima kasih, pikirkan: SEMOGA MEREKA DALAM KONDISI YANG BAIK. … … Bawa ke dalam pikiran anda sekarang, keluarga kita; suami/istri kita, anak-anak, kakak dan adik kita, bisa sekaligus dalam satu kelompok atau satu per satu. Bersama napas-keluar, dengan perasaan kasih sayang, pikirkan: SEMOGA MEREKA DALAM KONDISI YANG BAIK. … …

Sekarang bawa ke dalam pikiran anda, teman terdekat kita atau teman-teman yang lain, yang kita rasakan akan mendapatkan manfaat dari pikiran-pikiran simpati kita. Bersama napas-keluar, bawa mereka ke dalam pikiran dan berharap semoga mereka dalam keadaan yang baik; suatu rengkuhan yang lembut, suatu sikap penuh kasih sayang. ......

Tarik napas ke daerah sekitar dada: SEMOGA SAYA DALAM KONDISI YANG BAIK. Keluarkan napas dari daerah sekitar dada: SEMOGA MEREKA DALAM KONDISI YANG BAIK. Bawa ke dalam pikiran anda sekarang, mereka yang berlatih bersama-sama kita, mereka berada di sekitar kita; arahkan pikiran kita keluar, melingkupi mereka semua: SEMOGA MEREKA SEMUA DALAM KONDISI YANG BAIK DAN DAMAI. … …

Sekarang bawa ke dalam pikiran, bentuk Bumi kita seperti kita melihatnya dari luar angkasa. Arahkan pada objek yang penuh warna-warni tersebut, pikiran-pikiran kita: SEMOGA SEMUA MAKHLUK DALAM KONDISI YANG BAIK. Keluarkan napas: SEMOGA SEMUA MAKHLUK DALAM KONDISI YANG BAIK. ……

Dan sekarang bawa ke dalam pikiran kita, suatu bentuk dari kekosongan yang luas dan tak terbatas. Arahkan pikiran kita ke ruang yang tak terbatas itu: SEMOGA SEMUA MAKHLUK DALAM KONDISI YANG BAIK. Biarkan pikiran anda terbuka luas; biarkan hati anda terbuka seluas-luasnya. Tiada lagi batasan antara tubuh anda dengan alam semesta –- tiada batasan – luas – menembus ruang dan waktu. …

Sekarang dengan hati-hati, dengan sedikit lebih memfokus, bawa kembali perhatian kita ke arah daerah di sekitar dada, suatu titik di tengah-tengah dada kita. Tarik napas dengan halus dan dalam serta munculkan pikiran: SEMOGA SAYA DALAM KONDISI YANG BAIK. Tahan sebentar... biarkan pikiran, sebagai perasaan yang simpati tersebut, menyebar ke seluruh tubuh, memberikan energi dan menyegarkan kita. Kemudian dengan perlahan dan halus, keluarkan napas melalui daerah sekitar dada. Lakukan hal yang sama satu atau dua kali – tarik napas yang dalam, tahan sebentar dan keluarkan. ……

Sekarang bawa ke dalam pikiran, seseorang yang pernah anda sakiti, baik secara disengaja ataupun tidak, yang masih hidup maupun yang sudah meninggal... dan dengan menyebut nama orang itu, katakan: MAAFKANLAH SAYA... Ingat kembali mereka yang pernah anda sakiti... sebut nama mereka dan katakan: MAAFKANLAH SAYA.

Berikan perhatian yang dalam pada daerah sekitar dada. Biarkan ia tetap terbuka... dan sekarang bawa ke dalam pikiran anda, seseorang yang pernah menyakiti anda. Sebut nama orang itu dan katakan: SAYA MEMAAFKAN KAMU... Bawa ke dalam pikiran seseorang yang menyakiti anda, sebut nama orang itu dan katakan: SAYA MEMAAFKAN KAMU.

Sekarang dengan menyebut nama kita sendiri, katakan: SAYA MEMAAFKAN KAMU... Dengan menyebut nama kita sendiri, katakan: SAYA MEMAAFKAN KAMU... dan... KAMU SAYA MAAFKAN... KAMU SAYA MAAFKAN.

Menyatulah dengan perasaan-perasaan kasih sayang itu. Bawa perasaan-perasaan itu ke dalam hati anda; rangkul mereka dengan lembut... Sekarang dengan hati-hati, kembalilah ke napas –- energi napas masuk ke dalam daerah sekitar dada: SEMOGA SAYA DALAM KONDISI YANG BAIK. Resapi dan penuhi diri anda dengan perasaan tersebut. Kemudian keluarkan napas melalui daerah sekitar dada: SEMOGA ORANG LAIN JUGA DALAM KONDISI YANG BAIK.

Begitu sederhana –- menarik napas, menyatu dengan energi. Mengeluarkan napas, mendoakan agar semua orang selalu dalam kondisi yang baik. Mengeluarkan napas untuk semua orang. ...

[Sumber: SEEING THE WAY, Buddhist Reflections on the Spiritual Life, An anthology of teachings by English-speaking disciples of Ajahn Chah.
Alih bahasa: Junarto Mintaredja.]

Berbedaan Antara Meditasi Buddhis Dengan Yang Lain
Oleh Yang Mulia Bhikkhu Pannasaddha


Melatihan batin juga dikenal sebagai meditasi yang ditemukan dalam susunan semua agama. Sembahyang adalah suatu bentuk pengembangan dari meditasi dan di dalam kepercayaan agama Hindu pembacaan Slokas dan mantra-mantra dipakai untuk menenangkan pikiran sampai suatu tahap penerimaan. Kebanyakan hasil sistem ini adalah mengidentifikasikan keberhasilan dengan kemampuan jasmani yang luar biasa, kadangkala sangat cepat; dan bayangan-bayangan yang datang dalam keadaan setengah sadar, ataupun suara-suara yang terdengar, akan dianggap menjadi hasil akhir dari latihan. Ini bukanlah keadaan dalam bentuk-bentuk latihan meditasi Buddhis.

Ini masih termasuk sedikit pengenalan tentang pikiran, kegunaan dan kekuatannya, dan ini juga sulit bagi kebanyakan orang untuk membedakan antara menghipnotis diri dan pengembangan dari perantara dan proses dari klarifikasi batin dan penglihatan langsung dimana objek batin dari meditasi Buddhis. Dalam kenyatannya penganut ilmu kebatinan dari setiap agama telah menyebabkan diri mereka sendiri menyatakan dalam mana mereka melihat bayangan dan mendengar suara-suara yang sesuai dengan kepercayaan agama mereka sendiri menyebabkan samadhi mereka hanya menghasilkan pikiran mereka terbawa keluar dari pikiran yang biasa dan mengobjekkan konsep yagn telah memancangkan strata terdalam dari alam bawah sadar mereka. Agama Kristen melihat dan berbicara dengan orang-orang suci yagn telah mereka kenal; umat Hindu membayangkan dewa-dewa dari dunia dewata Hindu dan selanjutnya. Bagaimanapun, objek meditasi Buddhis bukan termasuk hal-hal tersebut. Mereka muncul sebagai produk sampingan, tetapi bukan hanya itu sasarannya, tetapi juga merupakan rintangan yang harus dilewati. Ada perbedaan pokok di antara meditasi Buddhis dan pemusatan pikiran latihan dalam sistem yang lain. Umat Buddha memulai latihan meditasi untuk mengenal perbedaan ini dan membangun kesadaran pikiran batin yang bersih dari apa yang berusaha dia lakukan.

Di sisi lain, meditasi buddhis pada dasarnya berdasarkan pada Jalan Mulia beruas delapan yang disebut dengan Jalan Tengah, yang terdiri dari 3 bagian. Biasanya dalam kepercayaan Buddhis kita bisa mengklarifikasi bentuk meditasi Buddhis menjadi 40 jenis, masing-masing mempunyai fungsinya disesuaikan dengan watak dari sang yogi. Secara singkat, ada dua jenis pendekatan dalam meditasi Buddhis yaitu Samattha Bhavana dan Vipassana Bhavana.

Di dalam meditasi batin (Samatha), meditator menetapkan satu objek, mengabaikan objek-objek kedua untuk menyerap semuanya menjadi satu objek. Sedangkan di dalam meditasi pandangan terang (Vipassana), pelaksanaannya adalah dari waktu ke waktu mengenal berbagai macam objek sebagaimana mereka muncul secara jelas, dengan mengunakan objek khusus. Sebenarnya, di dalam meditasi pandangan terang ini benar-benar masalah dari intensifikasi dari kesadaran daripada kosentrasi. Maka, jika kamu berharap ingin mengganti cara meditasi, dari ketenangan batin ke pandangan terang, dan menyesuaikan satu titik utama kepada objek yang telah ditentukan dan diizinkan untuk dibuka, kesadaran apapun yang utama dari waktu ke waktu di dalam pengalamanmu atau kamu juga boleh melatih konsentrasi melalui pemusatan satu titik utama pada satu objek, yang mengarah untuk pencapaian Upacara Samadhi dan Appana Samadhi, melalui satu fokus konsentrasi yagn sangat kuat terhadap jasmani dan objek batin untuk menyadari kebenaran dari fenomena jasmani dan batin ini, yaitu dukkha, anatta dan anicca.

Tujuan dari meditasi Buddhis adalah untuk mendapatkan lebih dari kepandaian pemahaman akan kebenaran ini, untuk melepaskan diri kita sendiri dan yang lainnya dari kilesa (kekotoran batin) dan dengan cara demikianlah mengakhiri ketidaktahuan dan kemelekatan. Jika meditasi tidak menghasilkan hasil yang cenderung ke hasil yang sempurna yang akan dapat diamati dalam karakter dan semua sikap hidup, sangat jelas bahwa ada sesuatu yang salah, baik sistem atau metode yang dipakai. Tidaklah cukup hanya untuk melihat cahaya-cahaya, melihat bayangan-bayangan atau untuk pengalaman kegembiraan yang luar biasa. Kejadian-kejadian ini adalah terlalu umum untuk mengesankan penganut agama Buddha yang benar-benar mengerti tujuan dari meditasi Buddhis.

BRAHMA-VIHARA

BRAHMA-VIHĀRA

Sifat luhur dalam Buddhisme lebih dikenal dengan istilah brahma-vihāra, yang terdiri dari empat macam sifat luhur dan apabila keempat sifat ini dilatih secara sungguh-sungguh akan membawa manfaat besar bagi pelakunya. Brahma-vihāra dikatakan sebagai sifat luhur karena brahma-vihāra dapat membuat seseorang menjadi luhur atau mulia. Dalam ajaran Buddhisme kata brahma-vihāra sudah tidak asing lagi di telinga setiap umatnya. Karena ajaran Buddha mempunyai ciri khas pengembangan cinta kasih kepada semua makhluk, dan ajaran cinta kasih ini merupakan salah satu dari empat sifat luhur dalam brahma-vihāra.

Pengertian Brahma-vihāra

Ajaran mengenai cinta kasih, belas kasihan, turut berbahagia, dan tentang keseimbangan batin merupakan ciri khas dari Buddhisme. Cinta kasih di sini bukan berarti cinta seperti dalam pengertian umum, bukan cinta yang mempunyai pamrih dan juga bukan cinta kepada hal-hal atau orang-orang tertentu melainkan cinta yang tidak membedakan apa dan siapa pun. Keempat sifat yang terdapat dalam brahma-vihāra ini merupakan sifat yang tidak mementingkan diri sendiri, tetapi lebih menekankan pada kepentingan dan kesejahteraan bersama, sehingga sifat-sifat ini dapat membuat manusia saling menghormati dan saling menghargai satu sama lain.

Kata brahma dapat diartikan sebagai ‘sangat baik’, agung, luhur atau mulia, dan vihāra diartikan sebagai ‘keadaan dari kehidupan’. Oleh karena itu brahma-vihāra berarti keadaan yang luhur atau kediaman luhur (Piyadasi, 2003:247). Brahma-vihāra dapat diterjemahkan sebagai cara bertingkah laku yang luhur atau tempat kediaman dewa brahma. Brahma-vihāra adalah cara atau keadaan kehidupan yang halus atau mulia seperti brahmacariya (kehidupan mulia). Mereka juga disebut appamañña (tanpa batas ikatan), karena bentuk pikiran ini dipancarkan pada semua makhluk tanpa batas dan tanpa rintangan (Narada, 1992:275).

Dikatakan brahma-vihāra karena orang yang memiliki dan mengembangkan sifat-sifat tersebut berarti ia memiliki sifat-sifat yang dimiliki oleh para dewa brahma yang berdiam di alam-alam brahma. Suatu makhluk dapat terlahir di alam-alam brahma apabila ia senantiasa mengembangkan sifat luhur seperti cinta kasih, belas kasihan, turut berbahagia atas kebahagiaan orang lain, dan batin yang selalu seimbang. Untuk itu apabila orang selalu mengembangkan sifat luhur ini, dan sifat tersebut telah menyatu dalam dirinya maka setelah meninggal dunia tidak menutup kemungkinan ia dapat terlahir di salah satu alam para dewa brahma.

Jadi brahma-vihāra adalah keadaan batin yang luhur dan halus yang dikembangkan secara bebas, luas, dan menyeluruh ke segenap penjuru, kepada apa dan siapa saja baik yang terlihat atau yang tidak terlihat, yang bersifat mengasihi atau membenci tanpa adanya keterikatan terhadap obyek, baik obyek yang menyenangkan atau pun obyek yang tidak menyenangkan. Brahma-vihāra adalah keadaan yang tidak terbatas dan meliputi segala sesuatu, yang merupakan sifat-sifat luhur para brahma.

Orang yang telah memiliki dan menyatu dengan brahma-vihāra tersebut akan selalu berusaha berada dalam keadaan batin yang seimbang dalam menghadapi segala permasalahan dalam hidup, ia akan menghadapinya dengan penuh kebijaksanaan. Oleh karena itu seseorang yang mengembangkan brahma-vihāra secara terus-menerus dengan sepenuh hati, orang tersebut dikatakan ”berdiam dalam brahma”. Artinya ia bersifat seperti halnya makhluk brahma yang luhur yang berdiam di alam-alam brahma.

Sifat-sifat Brahma-vihāra

Brahma-vihāra memiliki empat sifat mulia yang saling mendukung dan mempengaruhi satu sama lain. Walaupun ada perbedaan obyek dari keempat sifat-sifat brahma-vihāra tersebut, tetapi dalam mengembangkannya harus seimbang antara keempatnya. Apabila yang satu berkembang maka dengan demikian ketiga sifat yang lainnya pun juga ikut berkembang karena sifat tersebut saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Empat sifat tersebut dikatakan luhur karena merupakan cara bertindak dan bersikap yang benar dan ideal terhadap semua makhluk hidup, sattesu sammā paöipatti. Keempat sifat luhur tersebut adalah mettā (cinta kasih), karunā (kasih sayang, belas kasih), muditā (turut bergembira), dan upekkhā (keseimbangan batin).

1. Cinta Kasih (Mettā)

Mettā (bahasa pali) atau maitri (bahasa sansekerta) berarti sesuatu yang dapat menghaluskan hati seseorang, atau rasa persahabatan sejati. Dalam bahasa Indonesia mettā sering diterjemahkan dengan arti “cinta kasih”. Dalam bahasa Inggris disebut “loving kindness”, kadang-kadang “benevolence”. Disebut demikian karena perasaan ini merupakan suatu perasaan yang hangat bagi makhluk-makhluk. Kehangatan berasal dari matahari yang disebut “mitra” dalam kepustakaan Vedā. Seseorang yang mempunyai hati yang hangat pada kita disebut “mitrā” atau “mittā” (dalam bahasa Indonesia: teman); sifat dari “mitra” atau “mittā” adalah “maitri” atau “mettā”. Sebagaimana matahari menyinari segala sesuatu di dunia ini, “mettā” atau “maitri” memancar kepada semua makhluk tanpa perbedaan (Dharmawidya, 1990:23).

Oleh karena itu seperti halnya matahari yang selalu memberi kehangatan kepada siapa saja tanpa terkecuali, demikian pula mettā. Ia selalu memberikan kehangatan cinta kasih dan kasih sayang kepada siapa pun, baik yang bersifat netral ataupun yang bersifat bermusuhan kepadanya. Itulah kemuliaan mettā, cinta sejati yang benar-benar tulus dan tanpa pamrih sedikit pun, akan memancar ke segenap penjuru dunia menawarkan perdamaian dan ketentraman bagi manusia yang memiliki rasa tanggung jawab terhadap kehidupannya dan orang-orang di sekitarnya.

Mettā dirumuskan sebagai keinginan akan kebahagiaan semua makhluk tanpa terkecuali. Mettā juga sering dikatakan sebagai niat suci yang mengharapkan kesejahteraan dan kebahagiaan makhluk-makhluk lain. Seperti yang terdapat dalam mettā-sutta, yang berbunyi sebagai berikut: “sebagaimana seorang ibu yang mempertaruhkan jiwanya melindungi anak tunggalnya, demikianlah terhadap semua makhluk; kembangkan pikiran cinta kasih tanpa batas” (¥anamoli, 2001:15). Musuh langsung dari mettā adalah kebencian, keinginan jahat atau keengganan, kodha, musuh tidak langsungnya adalah kecintaan pribadi, pema. Pema atau cinta dalam pengertian umum, seperti cinta seorang suami kepada istri, dan istri kepada suami.

Cinta seperti itu tidaklah sama dengan mettā, melainkan berperan sebagai musuh tidak langsung dari mettā. Karena pema memiliki keegoan sebagai dasar mencintai seseorang. Mettā menjangkau semua makhluk tanpa kecuali. Puncak mettā adalah persamaan diri sendiri dengan semua makhluk. Ia merupakan pengharapan terhadap kebaikan dan kebahagiaan semua pihak. Sikap bajik merupakan ciri utamanya, mettā menghapus semua kehendak jahat.

Pengembangan cinta kasih ini dapat dilakukan dengan cara mengharap kebahagiaan, dimulai dari diri sendiri, sanak keluarga, kerabat, teman, orang-orang yang bersikap netral atau yang bersikap bermusuhan hingga akhirnya cinta kasih tersebut meliputi semua makhluk tanpa terkecuali, semoga semua makhluk berbahagia dan bebas dari penderitaan. Demikian cinta kasih itu dikembangkan Sehingga pikiran benar-benar terpenuhi dengan cinta kasih kepada semua makhluk tanpa batas.

Cinta kasih memiliki kekuatan yang sangat besar, bahkan dapat mempengaruhi orang ataupun makhluk lain, sebagai contoh ketika Buddha menakhlukkan seekor gajah yang sedang mengamuk karena dibuat mabuk oleh Devadatta dengan tujuan untuk mencelakakan Buddha. Namun, dengan cinta kasih yang dipancarkan oleh Buddha, gajah tersebut berubah menjadi tunduk dan jinak dihadapan Buddha dan para siswanya (Widjaja, 2006:553).

Contoh lain adalah ketika Bodhisatta, calon Buddha sedang menyempurnakan cinta kasih di salah satu kehidupannya sebelum pangeran Siddhatta mencapai penerangan sempurna. Beliau pernah terlahir sebagai anak muda yang tekun melatih dan mengembangkan mettā. Ayahnya tidak setuju dan menentangnya, sehingga pada suatu hari ketika kemarahan ayahnya memuncak, ia menyuruh seorang prajurit untuk membunuh anaknya. Bodhisatta berpikir dalam hatinya: ”sekarang ini merupakan suatu kesempatan yang sangat baik bagiku untuk melatih mettā. Ayah menentang dan marah padaku; ibu bersedih hati karena tingkah laku ayah padaku; algojo sudah siap untuk memotong tangan, kaki, dan kepalaku. Aku akan menjadi korban yang berada di tengah-tengah. Cinta kasihku memancar ke segala penjuru, sama rata dan tidak mebedakan siapa pun, terus mengalir tidak terganggu sedikit pun. Semoga ayahku tercinta tidak mengalami kesusahan akibat perbuatannya yang tidak mengenal belas kasihan! Semoga aku dapat menjadi Buddha di masa mendatang!”.

Demikianlah beliau melatih dirinya dalam mengembangkan cinta kasih tanpa batas, cinta kasih yang tulus mengharapkan kebahagiaan kepada semua orang tanpa membeda-bedakan ia memancarkan cinta kasihnya baik kepada orang yang membenci, menyayangi, atau yang bersifat netral kepadanya.

2. Belas Kasihan (karunā)

Sifat luhur kedua yang dapat memuliakan seseorang adalah belas kasihan (karunā), yang diartikan sebagai hal yang membuat hati yang baik bergetar ketika pihak lain terkena musibah, atau sesuatu yang mengusir penderiataan pihak lain. Ciri utamanya adalah keinginan untuk melenyapkan penderiataan pihak lain. Musuh langsungnya adalah kekejaman, himsā­­­ dan musuh tidak langsungnya yaitu dukacita, hawa nafsu, domanassa. Kasih sayang mencakup makhluk yang terkena kesedihan, dan sifat karunā ini mengurangi kekejaman (Uttamo, 2007:270). Hati seseorang yang penuh kasih sayang adalah halus; ia tidak akan berhenti dan tidak puas sebelum dapat meringankan penderitaan orang lain. Bahkan kadang-kadang ia sampai rela mengorbankan hidupnya demi membebaskan orang lain dari segala penderitaannya.

Sebuah kisah dalam cerita Vyaghari Jataka terdapat contoh yang baik mengenai kasih sayang, di mana Sutasoma sebagai seorang Bodhisatta telah rela mengorbankan hidupnya sendiri untuk menolong seekor harimau betina yang sedang kelaparan dan hendak memangsa anak-anaknya yang masih kecil guna menghilangkan rasa laparnya. Bodhisatta mencegah niat harimau betina itu, dan sebagai gantinya ia memberikan tubuhnya sendiri untuk dimakan oleh harimau betina tersebut. Dengan demikian beliau telah menyelamatkan anak-anak harimau dan juga induknya dari kematian yang mengancam, dengan mengorbankan kehidupan beliau.

Karunā merupakan sifat yang empati, turut prihatin terhadap penderitaan yang sedang dialami oleh makhluk lain. Namun apabila perasaan empati ini berlanjut kepada perasaan kalut dan keputusasaan, dan terbawa pada kesedihan yang mendalam, hal ini akan menjadi musuh dari karunā itu sendiri. Karunā bukanlah sifat yang pesimis, melihat penderitaan orang lain sehingga mengakibatkan hilangnya semangat dalam menghadapi hidup. Orang yang memiliki karunā akan sadar; walaupun banyak orang yang tertimpa musibah, mengalami banyak permasalahan dalam hidup, namun di balik itu semua, ada sebuah jalan untuk mengeluarkan mereka dari penderitaan tersebut. Untuk itu keseimbangan batin juga dibutuhkan dalam melatih karunā ini sehingga tidak ada sifat pesimis ataupun optimis.

Unsur kasih sayang dapat mendorong seseorang menolong orang lain dengan ketulusan hati. Orang yang memiliki kasih sayang murni tidak hidup untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk orang lain. Ia mencari kesempatan untuk dapat menolong orang lain tanpa mengharapkan balas jasa dalam bentuk apapun, baik materi ataupun pengormatan sebagai timbal balik dari kebajikan yang ia lakukan. Obyek dari karuna atau kasih sayang adalah orang-orang miskin yang membutuhkan bantuan, orang-orang sakit, orang-orang bodoh, orang-orang jahat, tanpa membeda-bedakan.

Adalah kewajiban bagi mereka yang kaya untuk membantu orang-orang yang miskin, yang kekurangan segala kebutuhan hidup mereka. Dan bagi mereka yang sehat sudah tentu memiliki kewajiban untuk menolong orang-orang yang sedang sakit. Sebenarnya, kasih sayanglah yang menjadi pendorong utama bagi seseorang untuk menolong orang sakit. Kasih sayang ini tidak lain merupakan sifat yang berhubungan dengan kesucian, yang dapat dilihat dalam semua agama dan kemanusiaan. Seorang dokter yang tidak egois ataupun gila akan harta, memberikan pertolongan cuma-cuma terhadap orang-orang yang menderita. Salah satu contohnya adalah seseorang yang amat terkenal dan patut diberi penghormatan, yaitu Dr. Albert Sechweitzer yang menyerahkan waktu dan tenaganya untuk menolong orang-orang di Afrika yang terkena lepra.

Orang-orang yang kejam, pendendam, pemarah, serakah, dan tidak bijaksana patut menerima kasih sayang atau belas kasihan sama seperti halnya mereka yang sakit jasmani atau batin. Mereka hendaknya jangan dibenci, dicemooh atau dihina, bahkan sebaliknya kita harus menaruh rasa kasihan dan sayang kepada mereka, karena sebenarnya orang-orang tersebut akan membuat kehidupannya di masa yang akan datang menjadi sengsara dan penuh dengan penderitaan dengan memiliki dan mengembangkan sifat-sifat negatif tersebut. Buddha pun juga memiliki rasa kasih sayang yang begitu besar terhadap seorang pelacur yang bernama Ambapali, dan Angulimala seorang pembunuh dan perampok yang sangat kejam, yang pada akhirnya mereka sadar dan menjadi orang yang mulia di bawah bimbingan Sang Buddha.

3. Rasa Simpati (muditā)

Sifat luhur yang ketiga adalah muditā atau rasa simpati, yaitu perasaan bahagia melihat orang lain berbahagia atau perasaan gembira yang dapat menghilangkan rasa iri hati. Muditā bukan hanya rasa simpati tetapi juga sukacita yang mendalam dan tulus atas keberhasilan atau kesejahteraan yang dicapai oleh pihak lain. Musuh langsungnya adalah kecemburuan (issā) dan musuh tidak langsungnya adalah kesenangan (pahasā). Muditā memiliki ciri utama yaitu kebahagiaan yang sungguh tulus atas kesejahteraan dan keberhasilan pihak lain (anumodanā).

Objek dari muditā adalah semua makhluk yang sejahtera. Ia mengurangi ketidaksenangan dan iri hati (Uttamo, 2007:270). Corak utama dalam muditā adalah perasaan bahagia melihat kemakmuran dan kesejahteraan orang lain. Sedang tepuk tangan, sorak gembira, dan sebagainya bukanlah corak dari muditā, karena hal tersebut dapat dianggap sebagai musuh tidak langsung dari muditā.

Muditā dipancarkan kepada semua makhluk yang makmur dan sejahtera, yang merupakan sikap ikut merasa berbahagia dan bersyukur. Muditā dapat melenyapkan sifat iri hati, antipati atau tidak senang melihat kemajuan yang dicapai oleh orang lain. Seperti halnya mettā dan karunā yang lebih mudah dikembangkan terhadap orang-orang yang dekat dengan kita, demikian pula dengan muditā. Ia akan terasa lebih sulit dikembangkan kepada orang-orang yang mungkin kurang dekat atau bahkan musuh. Apabila ada seorang musuh yang sedang mengalami kebahagiaan atas apa yang ia capai, tentunya akan lebih sulit untuk ikut merasakan kebahagiaan musuh tersebut. Namun inilah yang harus dikembangkan untuk kedewasaan batin masing-masing. Muditā harus dikembangkan dengan tanpa membeda-bedakan siapa yang mengalami kebahagiaan atau keberhasilan, walaupun lawan sekalipun, hendaknya seseorang tetap menunjukkan sikap turut berbahagia ini terhadapnya.

Dengan demikian tidak menutup kemungkinan orang yang tadinya memiliki prasangka negatif akan merasa dihargai dan merubah pemikirannya setelah mengetahui sikap bermudita-cita yang ditunjukkan kepadanya. Hal tersebut tentunya akan lebih membawa kebahagiaan terhadap semua pihak, dan tidak menutup kemungkinan dapat menyelesaikan permusuhan yang telah lama terjadi. Inilah alasan mengapa setiap orang atau setiap golongan harus berlatih dengan sungguh-sungguh dalam mengembangkan muditā atau rasa simpati dan bergembira atas keberuntungan dan keberhasilan orang atau golongan lainnya, jika mereka ingin meluhurkan dirinya dan menjadi orang yang berbahagia lahir dan batin.

4. Keseimbangan Batin (upekkhā)

Sifat luhur keempat yang merupakan sifat luhur yang paling sukar dan paling penting adalah keseimbangan batin (upekkhā). Dalam bahasa Pāli, kata ”upa” berarti ”dekat”, dan kata ”ikh” berarti ”melihat”; jadi upekkhā berarti melihat dari dekat, yang mempunyai makna: melihat dengan adil, tidak berat sebelah, lurus atau tegak. Secara harfiah upekkhā berarti memandang tanpa berpijak, yaitu tidak dengan kemelekatan ataupun keengganan, tidak ada terikat atau benci, tidak ada rasa senang dan tidak senang. Upekkhā bukan merupakan sikap acuh tak acuh tetapi lebih pada sikap keseimbangan sempurna atau batin yang seimbang di tengah-tengah semua perubahan kehidupan, seperti pujian dan celaan, penderitaan dan kebahagiaan, untung dan rugi, dikenal dan tidak dikenal. Upekkhā juga memandang semua makhluk dengan seimbang, sebagai ahli waris atas hasil perbuatan mereka sendiri, tanpa kemelekatan atau
penolakan. Upekkhā adalah ketenangan yang tidak memihak dari seseorang yang
memahaminya.

Musuh langsung dari upekkhā yaitu kemelekatan (rāga) dan musuh tidak langsungnya adalah perasaan yang beku (acuh). Sikap tidak memihak merupakan ciri utama dari keseimbangan batin ini. Pada umunya orang akan merasa bingung dan kacau apabila mengalami perubahan dari senang menjadi tidak senang, dari terkenal menjadi tidak terkenal, dari kaya menjadi miskin, dipuji dan dicela, dan sebagainya. Dalam hal ini Buddha pernah bersabda: ”orang bijaksana tidak menunjukkan rasa gembira maupun kecewa di tengah-tengah pujian dan celaan. Mereka tetap teguh bagaikan batu karang yang tidak tergoncangkan oleh badai” (Widya, 2002:31).

Terdapat sebuah syair dalam kisah Jataka sebagai berikut: ”persis seperti sikap tanah, apa pun yang manis ataupun pahit, acuh tak acuh ia menerima semuanya, dengan sikap yang sama; begitu pula hendaknya seorang siswa, terhadap sikap yang membenci atau pun yang bersahabat, kebajikan ataupun kajahatan, tetap tenang seimbang mereka menerimanya, inilah dasar perkembangan upekkhā” (Narada, Tanpa tahun:27).

Jadi keseimbangan batin merupakan sikap bijaksana dalam menghadapi segala bentuk permasalahan yang dialami. Tidak menunjukkan rasa suka cita yang berlebihan ketika mengalami kebahagiaan, dan sebaliknya tidak terlarut dalam kesedihan yang sangat mendalam ketika mengalami kesusahan.

Itulah sifat-sifat luhur dalam brahma-vihāra yang merupakan kondisi batin positif dan luhur yang jika dikembangkan pada diri manusia akan dapat mengikis serta melenyapkan sifat yang bertentangan dengannya, seperti kebencian, egois, keserakahan serta dapat menumbuhkan kesabaran dan kebijaksanaan hingga pada kebahagiaan sejati yaitu terbebasnya dari segala bentuk kekotoran batin.

Manfaat Dari Pengembangan Brahma-vihāra

Manusia sebagai makhluk sosial akan saling berinteraksi satu dengan yang lain. Kehidupan manusia yang saling membutuhkan tersebut memerlukan adanya interaksi yang baik antara satu dengan yang lain. Berkenaan dengan hubungan kehidupan bermasyarakat, brahma-vihāra memiliki peran penting untuk menciptakan hubungan yang harmonis dalam masyarakat, di mana pengembangan brahma-vihāra memiliki manfaat yang sangat besar, salah satunya adalah membuat hubungan antar manusia lebih harmonis, saling menghormati dan untuk mewujudkan kerukunan antar umat manusia, seperti yang telah disabdakan oleh Buddha dalam Dasuttara sutta, Digha Nikāya, sebagai berikut:

Duhai para Bhikkhu, dalam ajaran ini, seorang Bhikkhu memiliki pikiran, ucapan dan perbuatan yang disertai cinta kasih terhadap sesama brahmacāri, baik di depan maupun di belakang mereka. Inilah hal yang membuat saling dikenang, saling dicintai, saling dihormati; menunjang untuk saling ditolong, untuk ketiada-cekcokan, untuk kerukunan dan kesatuan (Wowor, 1996:56-57).

Buddha juga bersabda dalam Anguttara Nikāya, menganjurkan kepada para siswanya untuk selalu mengembangkan cinta kasih mengingat begitu besarnya manfaat yang dapat dihasilkan dari pengembangan cinta kasih, seperti yang Buddha sabdakan dalam Anguttara Nikāya:

Para bhikkhu, janganlah takut akan tindakan-tindakan yang berjasa! Tindakan-tindakan yang berjasa ini sama dengan kebahagiaan. Aku telah mengetahui dengan baik bahwa telah lama sekali aku mengalami hasil-hasil yang dikehendaki, menyenangkan dan diinginkan dari tindakan-tindakan berjasa yang sering dilakukan.

Selama tujuh tahun aku telah mengembangkan buah-buah pikir cinta kasih. Setelah mengembangkan hati yang penuh cinta kasih selama tujuh tahun, aku tidak kembali ke dunia ini selama tujuh kalpa dari pengerutan dunia dan pengembangan dunia. Bilamana satu dunia hancur, aku memasuki (lewat kelahiran ulang) alam para dewa Cahaya yang Mengalir, dan jika dunia berkembang lagi, aku terlahir ulang di istana Brahma yang kosong. Dan di sana dahulu aku adalah Mahabrahma, pemenang yang tidak terkalahkan, yang sangat berkuasa. Dan tiga puluh enam kali aku telah menjadi Sakka, penguasa para dewa, dan beratus-ratus kali aku telah menjadi penguasa alam semesta, raja yang adil dan luhur (Cintiawati dan Anggawati, 2002:466).

Buddha begitu menganjurkan kepada para siswanya untuk mengembangkan sifat-sifat mulia yang terdapat dalam brahma-vihāra, khususnya cinta kasih karena semua manusia pasti membutuhkan hal tersebut. Tidak ada seorang pun yang dapat hidup tanpa adanya cinta kasih. Mulai dari dalam kandungan seseorang telah mendapat cinta kasih dari ibunya, hingga orang tersebut beranjak dewasa bahkan sampai usia lanjut pun seseorang masih memerlukan cinta kasih. Dengan kata lain seseorang membutuhkan cinta kasih sejak ia lahir hingga akhir usianya.

Manfaat dari pengembangan brahma-vihāra bagi diri sendiri adalah sebagai berikut: (1) dengan memiliki pikiran yang penuh dengan mettā, maka seseorang akan dapat tidur dengan hati yang tenang dan bahagia karena batinnya terbebas dari kebencian. (2) karena ia tidur dengan perasaan yang penuh dengan mettā, demikian pula ia akan terjaga dengan perasaan penuh dengan mettā. Orang yang bajik dan penuh dengan cinta kasih dan kasih sayang akan bangun dari tidurnya dengan wajah yang berseri-seri. (3) orang yang memiliki cinta kasih dan kasih sayang tidak akan mengalami mimpi buruk dalam tidurnya. Karena sebelum tidur pikirannya selalu dipenuhi cinta kasih, maka mimpinya pun juga akan indah. (4) orang yang selalu memiliki cinta kasih dan kasih sayang akan disegani oleh orang lain. Karena ia mencintai orang lain, maka ia pun akan dicintai pula oleh mereka. Jika seseorang melihat pada sebuah cermin dengan wajah tersenyum, maka ia akan melihat wajah yang sama menghormat kepadanya. (5) selain dicintai oleh orang lain, orang yang memiliki cinta kasih juga dicintai oleh makhluk-makhluk bukan manusia, seperti hewan bahkan para dewa. Seperti suatu kisah di jaman Sang Buddha, di mana sekelompok siswa yang sedang berlatih meditasi di hutan kemudian diganggu oleh makhluk penghuni tempat tersebut. Kemudian Buddha menyarankan kepada para siswanya untuk mengembangkan cinta kasih. Setelah mereka mengembangkan cinta kasih, makhluk-makhluk yang tadinya mengganggunya merasa senang dan tidak menganggu lagi. (6) kekuatan dari getaran pikiran yang mengembangkan cinta kasih dapat mebuat seseorang kebal dari serangan senjata, racun, dan sebagainya. Seperti kisah Sammāvati yang terhindar dari anak panah yang diarahkan kepadanya karena ia selalu memancarkan cinta kasih kepada raja sekalipun raja tersebut membidikkan panahnya dengan niat untuk membunuh Sammāvati. (7) makhluk-makhluk yang tidak terlihat (para dewa) akan melindungi orang yang memiliki cinta kasih karena kekuatan cinta kasihnya yang tidak terbatas. (8) seseorang yang memiliki cinta kasih pikirannya akan selalu tenang dan akan lebih mudah untuk berkonsentrasi dalam melakukan meditasi. (9) seperti halnya sila, pelaksanaan brahma-vihāra juga dapat menambah keindahan wajah seseorang, wajahnya akan memancarkan kewibawaan dan terlihat cerah. (10) orang yang batinnya dipenuhi cinta kasih, kasih sayang, rasa simpati dan memiliki batin yang selalu seimbang akan meninggal dunia dengan tenang, karena tidak ada pikiran membenci yang muncul dalam dirinya. Bahkan setelah meninggal mukanya kelihatan jernih berseri-seri, menggambarkan ketenangan batinnya. (11) apabila seseorang telah terbiasa dalam pengembangan brahma-vihāra hingga mencapai tingkat-tingkat ketenangan batin/jhāna, maka ketika masa kehidupannya telah habis/meninggal dunia, orang tersebut akan dapat terlahir kembali di salah satu alam brahma sesuai dengan tingkatan jhāna yang telah ia capai (Cintiawati, dkk, 2002:680).

Empat sifat luhur yang terdapat dalam brahma-vihāra sangat perlu untuk dikembangkan oleh setiap manusia dalam kehidupan sehari-hari karena hal ini akan membawa manfaat positif bagi diri sendiri ataupun bagi orang lain. Brahma-vihāra merupakan kebajikan yang unggul yang menghasilkan kehidupan yang mulia. Pengembangan brahma-vihāra membuat orang yang mengembangkannya menjadi lebih memiliki sifat cinta kasih, kasih sayang, dan bersimpati kepada semua makhluk.

Mengembangkan brahma-vihāra juga melatih orang agar lebih tenang dalam menghadapi hidup baik pada waktu kebahagiaan datang ataupun kesedihan muncul. Selain itu sifat-sifat brahma-vihāra dapat mengikis dan melenyapkan sifat egois dan ketidakharmonisan, meningkatkan sifat altruisme, persatuan dan persaudaraan sehingga hal ini dapat menjadi dasar terwujudnya kehidupan yang bahagia, damai dan sejahtera (Narada, tanpa tahun:8). Seseorang yang mengembangkan brahma-vihāra akan merasa lebih bahagia dalam hati, lebih tenang dan damai, dan orang lain pun akan terimbas dengan perasaan yang sama. Orang yang selalu tenang dan tidak ceroboh, berpikir sebelum bertindak, ia akan dihormati orang lain bahkan makhluk lain baik yang tampak ataupun tidak tampak (Lama, 2003:60).

Pengembangan terus menerus dan tekun dari kebajikan luhur ini
dalam kehidupan sehari-hari akan membentuk sikap dan pandangan
pelakunya. Empat sifat luhur ini harus menjadi dasar semua tindakan sosial
umat Buddha, demikian pula kedamaian dan keselarasan individual dan
masyarakat. Semangat ini harus ditandai dengan menempatkan kebaikan pribadi menjadi kebaikan bersama.

Agar karya sosial umat Buddha benar-benar bernilai, tindakan itu harus tumbuh dari cinta sejati, simpati, dan pengertian terhadap sifat sesama manusia, dibimbing oleh pengetahuan dan latihan. Karya kesejahteraan harus menjadi ungkapan sempurna dari Belas Kasih, tidak tersentuh oleh sikap menghina, bersih dari kesombongan (bahkan kesombongan akan perbuatan baik yang dilakukan). Empat sifat luhur ini harus dikembangkan dengan rajin melalui usaha yang terus menerus. Sifat-sifat ini tidak akan pernah usang bahkan merupakan sifat-sifat yang dibutuhkan manusia di jaman yang penuh kekacauan dan ketidakdamaian seperti sekarang ini. Sifat-sifat luhur tersebut menyampaikan pesan universal yang akan mengubah manusia menjadi manusia universal.

.

Tujuan Mengembangkan Brahma-Vihāra

Kemenangan menimbulkan kebencian (pada pihak yang kalah), orang yang kalah hidup dalam kesedihan; orang yang batinnya tenang dan damai hidup bahagia, karena ia telah meninggalkan kemenangan dan kekalahan (Widya, 2002:81). Semua orang pasti menginginkan kebahagiaan, keamanan, ketenangan, dan kedamaian dalam hidupnya. Tujuan dari pengembangan brahma-vihāra adalah untuk memperoleh hal-hal tersebut tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi semua makhluk karena obyek dari brahma-vihāra adalah mencakup segala sesuatu tanpa batas dan perbedaan.

Manusia tidak akan dapat mendamaikan orang lain apabila ia tidak dapat berdamai dengan diri sendiri. Tujuan brahma-vihāra ini adalah menemukan kedamaian dalam diri sendiri sebagai langkah awal untuk mewujudkan perdamaian secara luas yang mencakup seluruh dunia. Dengan adanaya cinta kasih, belas kasihan, turut berbahagia atas kebahagiaan orang lain, dan keseimbangan batin dalam pikiran seseorang, maka tidak akan ada kesempatan untuk munculnya pikiran-pikiran jahat (Cintiawati, dkk, 2002:651).

Pada akhirnya pengembangan brahma-vihāra akan menyebabkan pemikiran bahwa semua makhluk memiliki kedudukan yang sama seperti diri sendiri, dan menempatkan kepentingan orang lain sama dengan kepentingan dirinya sehingga tidak membeda-bedakan antara kepentingan diri sendiri dan orang lain (Lama, 2003:62).

Selain itu dengan pengembangan brahma-vihāra akan membuat orang setelah kematiaannya dapat terlahir di alam-alam brahma, seperti yang dikatakan dalam Tevijja sutta, Digha Nikāya:

…Kemudian ia mengembangkan batinnya dengan pikirannya yang penuh cinta kasih (mettā) ke seperempat bagian dunia, ke setengah dunia, ke tigaperempat dunia dan ke seluruh dunia. Dengan demikian seluruh dunia, di atas, di bawah, di sekeliling dan di mana saja, ia secara terus menerus mengembangkan cinta kasihnya, hingga jauh, bertambah luas dan tak terterbatas'
'Kemudian ia mengembangkan batinnya dengan pikirannya yang penuh kasih sayang (karunā) ke seperempat bagian dunia, ke setengah dunia, ke tigaperempat dunia dan ke seluruh dunia. Dengan demikian seluruh dunia, di atas, di bawah, di sekeliling dan di mana saja, ia secara terus menerus mengembangkan kasih-sayangnya, hingga jauh, bertambah luas dan tak terterbatas'.
'Kemudian ia mengembangkan batinnya dengan pikirannya yang penuh empati (muditā) ke seperempat bagian dunia, ke setengah dunia, ke tigaperempat dunia dan ke seluruh dunia. Dengan demikian seluruh dunia, di atas, di bawah, di sekeliling dan di mana saja, ia secara terus menerus mengembangkan empatinya, hingga jauh, bertambah luas dan tak terterbatas'.
'Kemudian ia mengembangkan batinnya dengan pikirannya yang penuh keseimbangan batin (upekkhā) ke seperempat bagian dunia, ke setengah dunia, ke tigaperempat dunia dan ke seluruh dunia. Dengan demikian seluruh dunia, di atas, di bawah, di sekeliling dan di mana saja, ia secara terus menerus mengembangkan keseimbangan batinnya, hingga jauh, bertambah luas dan tak terterbatas'.

Vasettha, bagaikan seorang peniup trompet besar memperdengarkan suara-tanpa kesulitan-di semua empat penjuru; begitu pula semua bentuk dan berbagai ukuran makhluk, tanpa salah satunya dikecualikan, namun dengan memperhatikan mereka semua dikembangkannya pikiran yang bebas dan penuh kasih sayang.

Vasettha, inilah jalan untuk bersatu dengan brahma.

Vasettha, bagaikan seorang peniup trompet besar memperdengarkan suara-tanpa kesulitan-di semua empat penjuru; begitu pula semua bentuk dan berbagai ukuran makhluk, tanpa salah satunya dikecualikan, namun dengan memperhatikan mereka semua dikembangkannya pikiran yang bebas dan penuh empati.

Vasettha, inilah jalan untuk bersatu dengan brahma.

Vasettha, bagaikan seorang peniup trompet besar memperdengarkan suara-tanpa kesulitan-di semua empat penjuru; begitu pula semua bentuk dan berbagai ukuran makhluk, tanpa salah satunya dikecualikan, namun dengan memperhatikan mereka semua dikembangkannya pikiran yang bebas dan penuh keseimbangan batin.

Vasettha, inilah jalan untuk bersatu dengan brahma (Tim Penerjemah, 2002:39-40).

Berkaitan dengan hal meditasi brahma-vihāra mempunyai tujuan akhir untuk menghasilkan suatu keadaan batin yang dapat menjadi landasan yang kokoh untuk penembusan pemahaman mengenai sifat-sifat sejati dari semua fenomena, yaitu ketidakkekalan, penderitaan, dan tanpa inti (Nyanaponika, 2006:4). Pemahaman dari ketiga hal tersebut merupakan akhir dari segala macam penderitaan yang ada di dunia ini, karena ketiga hal tersebut adalah akar dari semua penderitaan, yang menimbulkan ratap tangis, kesedihan, dan keputusasaan yang menimbulkan makhluk-makhluk selalu berputar-putar dalam samsāra.

Keterkaitan Antar Empat Keadaan Luhur dalam Brahma-Vihāra

Empat sifat yang terdapat dalam brahma-vihāra tidaklah berdiri sendiri-sendiri. Sifat-sifat tersebut lebih merupakan suatu sistem yang saling mendukung antara satu dengan yang lainnya (Nyanaponika, 2006:18). Cinta yang tidak tersekat menjaga kasih sayang agar tidak memihak, mencegah dari pendiskriminasian memilih dan mengecualikan. Dengan demikian dapat melindungi dari keberpihakan ataupun ketidaksukaan terhadap yang dikecualikan. Cinta kasih (mettā) kepada semua juga membagi sifat tanpa egonya kepada keseimbangan batin.

Kasih sayang (karunā) mencegah cinta dan rasa simpati melupakan bahwa, selagi keduanya sedang menikmati atau memberikan kebahagiaan yang terbatas dan sementara, pada saat yang bersamaan terdapat keadaan penderitaan yang sangat mengerikan dunia. Kasih sayang, belas kasihan mengingatkan bahwa kebahagiaan mereka ada pada saat yang sama dengan kesengsaraan makhluk lain. Dengan demikian kasih sayang membantu tumbuhnya cinta kasih dan rasa simpati dalam keadaan yang sungguh-sungguh tanpa batas (appamañña), namun tidak menimbulkan perasaan yang optimistis, namun tanpa batas dalam pengembangannya. Welas asih juga menjaga keseimbangan batin agar tidak jatuh ke dalam ketidakpedulian yang dingin, dan menjaganya dari isolasi yang egois dan malas.

Turut berbahagia (muditā) mencegah welas asih terhanyut akibat melihat penderitaan dunia. Muditā melegakan tekanan batin akibat terbakarnya hati karena rasa welas asih. Muditā mengingatkan bahwa selain ada makhuk-makhluk yang sedang mengalami penderitaan, ada pula makhluk-makhluk yang sedang mengalami kebahagiaan di waktu yang sama. Oleh karena itu Muditā mengembangkan karuna menjadi perasaan simpatik yang aktif sehingga tidak timbul perasaan yang pesimis. Mudita juga memberikan keseimbangan batin suatu ketenangan yang lembut yang melunakkan sifatnya yang kaku.

Keseimbangan batin (upekkhā) yang berakar dalam penembusan pemahaman adalah kekuatan kendali diri dan penuntun bagi ketiga keadaan luhur lainnya. Keseimbangan batin menunjukkan arah bagi ketiganya. Walaupun demikian bukan berarti ketiga sifat lainnya tidak lebih penting dari keseimbangan batin, keempat sifat tersebut memiliki peranan yang sama dan saling mendukung (Nyanaponika, 2006:19).

Sesungguhnya dalam pengembangannya keempat sifat luhur ini tidak dapat berjalan sendiri-sendiri, artinya bahwa keempatnya merupakan suatu sistem yang saling mendukung. Cinta kasih, kasih sayang, rasa simpati, dan keseimbangan batin merupakan suatu sifat yang ditujukan kepada pihak lain, sehingga hal ini dapat mengembangkan sifat altruisme seseorang.

Karena keempat sifat yang terdapat dalam brahma-vihāra tersebut saling mendukung satu sama lain, merupakan suatu sistem yang saling terkait, maka keempatnya harus dikembangkan secara seimbang supaya dapat membuahkan hasil yang maksimal. Ketika orang mengembangkan sifat luhur ini dalam pikirannya secara sungguh-sungguh, maka kebijasaan akan berkembang dalam diri setiap orang, sehingga kedamaian akan diperolehnya karena pikirannya akan terbebas dari kebencian, kemarahan atau pun niat jahat lain.

Blogumulus by Roy Tanck and jide-theater

  ©Template by Dicas Blogger.

TOPO